Dengan Dekrit Presiden ini sistem ketatanegaraan kembali ke sistem Presidensiil berdasar UUD 1945.
Baca juga: TASPEN Kolaborasi dengan Korpri Tingkatkan Kesejahteraan ASN
Namun, dalam praktek kekuasaan Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan sangatlah besar.
Sistem pemerintahan demokrasi parlementer berakhir dengan meletusnya upaya kudeta oleh PKI dengan G-30S.
Pegawai pemerintah banyak yang terjebak dan mendukung Partai Komunis.
Pada awal era Orde Baru dilaksanakan penataan kembali pegawai negeri dengan munculnya Keppres RI Nomor : 82 Tahun 1971 tentang KORPRI.
Berdasarkan Kepres pada 29 November 1971, KORPRI merupakan satu-satunya wadah untuk menghimpun dan membina seluruh pegawai RI di luar kedinasan.
Baca juga: Jokowi: Partai Boleh Banyak Tapi yang Melaksanakan dan Menentukan KORPRI
Tujuan pembentukannya Korps Pegawai ini adalah agar “Pegawai Negeri RI ikut memelihara dan memantapkan stabilitas politik dan sosial yang dinamis dalam negara RI”.
Akan tetapi KORPRI kembali menjadi alat politik.
Memasuki Era reformasi muncul keberanian mempertanyakan konsep monoloyalitas KORPRI, sehinga sempat terjadi perdebatan tentang peran pegawai negeri dalam pembahasan RUU Politik di DPR.
Pada akhirnya dihasilkannya konsep dan disepakati KORPRI harus netral secara politik.
Setelah Reformasi, KORPRI bertekad untuk netral dan tidak lagi menjadi alat politik.
Para Kepala Negara setelah era Reformasi mendorong tekad KORPRI untuk senantiasa netral dengan berorientasi pada tugas, pelayanan, dan senantiasa berpegang teguh terhadap profesionalisme;
Serta berpegang teguh pada Panca Prasetya KORPRI PP Nomor 12 tentang Perubahan atas PP Nomor 5 Tahun 1999 muncul untuk mengatur keberadaan PNS yang ingin jadi anggota Parpol.
Maka dengan adanya ketentuan di dalam PP ini membuat anggota KORPRI tidak terlibat dalam partai politik apapun.
Oleh karena itu KORPRI hanya bertekad berjuang untuk mensukseskan tugas negara, terutama dalam melaksanakan pengabdian bagi masyarakat dan negara.
(Tribunnews.com/Muhammad Alvian Fakka)