Ia menambahkan formulasi kebijakan tidak hanya sekadar rapat-rapat biasa saja, tapi sudah harus mengevaluasi policy outcome/performance dan policy gap.
Setelah mengidentifikasi gap, para analis kebijakan dilanjutkan dengan policy alternatives atau proses mengembangkan pilihan kebijakan dan pembobotannya dan harus lebih dari satu alternatif.
Kemudian, Fadillah Putra menyampaikan siklus evaluasi kebijakan dapat menjadi target analisis kebijakan publik, mengingat masih lemahnya kebijakan publik dalam proses tersebut.
Fadillah menambahkan selain kemampuan analisis para analis kebijakan juga harus memiliki kemampuan politik, hal ini diperlukan untuk dapat meyakinkan stakeholder untuk mendukung kebijakan tersebut.
Pada kegiatan advokasi masa ini tidak lagi Penyampaian hasil analisis berupa laporan yang akan dikomunikasikan, melainkan dengan menyiapkan cerita atau dengan format menulis cerita pendek.
Hal ini dapat dicontoh bagi pelaksanaan advokasi berikutnya, dengan merubah paradigma melaporkan jadi bercerita diharapkan para stakeholder dapat merasakan empati sehingga mendukung kebijakan yang di rekomendasikan.
Selanjutnya Fadillah juga memberikan rekomendasi kepada peserta kegiatan Advokasi, khususnya bagi para tim analis kebijakan di BSK Kumham.
Pertama, advokasi kebijakan publik perlu dilakukan dalam rangka perbaikan dan/atau perubahan kebijakan (policy reform), berangkat dari evaluasi.
Kedua, Penerima manfaat dari aktivitas analisis kebijakan publik adalah para stakeholders kebijakan, harus diperjelas posisinya apakah pro/kontra terhadap kebijakan tersebut.
Baca juga: The Conference on Human Right Ke-6, BSK Kumham Berupaya Tingkatkan Kualitas Jurnal HAM
Ketiga, tindak lanjut Advokasi kebijakan harus berorientasi pada policy adoption.
Dan yang terakhir, langkah yang dapat diambil adalah evaluasi normatif dan sumatif, Penguatan policy story, studi Kelayakan rekomendasi kebijakan, membuat policy map, melakukan stakeholders analysis dan aktivasi, dan strategi-strategi komunikasi kebijakan.