News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pemilu 2024

Data Pemilu Bocor, Komisi I: Bisa Kacaukan Proses Pemilu

Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Hendra Gunawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi hacker

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Dennis Destryawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Kasus dugaan kebocoran data Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024 mendapatkan perhatian dari Komisi I DPR RI. Data diduga diretas oleh akun bernama Jimbo.

Anggota Komisi I DPR RI Sukamta mengatakan, kejadian tersebut sebagai malapetaka untuk masyarakat dan demokrasi. DPR, lanjut dia, telah mengesahkan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi tahun 2022 lalu.

"Kita anggap sangat urgen UU PDP saat itu, karena kebocoran data terus terjadi," ujar Sukamta melalui keterangannya, dikutip Minggu (3/12/2023).

Baca juga: Integrasi NIK-NPWP, Anggota Komisi I DPR Ingatkan Keamanan Data Pribadi Masyarakat

Ia menilai kejadian kebocoran data dapat berbahaya. Karena itu, ia menyayangkan pihak Kementerian Komunikasi Dan Informatika (Kemenkominfo), yang seolah menyepelekan hal tersebut.

"Peretasan sistem elektronik yang dimiliki lembaga pemerintah dan kebocoran data pribadi itu sangat bahaya. Bukan hanya terkait motif ekonomi, tapi ini bisa mengacaukan proses Pemilu 2024," terang Sukamta.

Mantan Anggota Panja RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP) ini menyebutkan bahwa dalam UU PDP yang telah disahkan termuat definisi mengenai Data Pribadi. Yaitu, didefinisikan sebagai data tentang orang perseorangan yang teridentifikasi atau dapat diidentifikasi secara tersendiri atau dikombinasi dengan informasi lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui sistem elektronik atau non elektronik.

Diketahui, peretas Jimbo mengklaim mendapatkan beberapa data pribadi mulai dari Nomor Induk Kependudukan (NIK), Nomor Kartu Keluarga (KK), dan Nomor KTP serta nomor paspor untuk pemilih yang berada di luar negeri.

Selain itu, ada juga data pribadi lainnya, berupa nama lengkap, jenis kelamin, tanggal lahir, tempat lahir, status pernikahan, alamat lengkap, RT, RW, kodefikasi kelurahan, kecamatan, dan kabupaten serta kodefikasi Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Baca juga: Alasan TikTok Shop Cs Dilarang Jualan, Lindungi Data Pribadi hingga Cegah Monopoli

"Jelas ini masuk kategori data pribadi, karena bisa mengidentifikasi seseorang. Lebih spesifik lagi ini masuk dalam kategori data pribadi yang bersifat umum. Sangat rawan disalahgunakan untuk kepentingan ekonomi dan bisnis," tutur Sukamta.

Ia menyayangkan, data tersebut bocor dari lembaga publik. Sebab, berpotensi mengganggu penyelenggaraan negara.

"Terlebih bila data yang bocor adalah data yang dikelola oleh lembaga publik, potensi dampaknya bisa mengganggu penyelenggaraan negara," imbuh Sukamta.

Sukamta menekankan dua hal. Pertama, pejabat publik dalam hal ini Menteri Kominfo, jangan membuat pernyataan yang kontraproduktif dan terkesan menyepelekan apa yang selama ini sudah diupayakan, yaitu pelindungan data pribadi dalam bentuk UU.

Kedua, pemerintah diminta segera menyelesaikan peraturan-peraturan turunan dari UU PDP, khususnya Presiden harus segera menerbitkan Perpres tentang pembentukan lembaga otoritas pengawas PDP agar segera bisa melakukan fungsi pengawasan pelindungan data pribadi.

"Jangan sampai UU ini tumpul karena badan penyelenggaranya belum ada," tutur Sukamta.

Sebelumnya, Ketua KPU Hasyim Asy'ari berujar KPU sudah melaporkan masalah ini ke Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) dan Badar Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri. KPU mengetahui informasi terkait adanya pihak yang menjual data yang diduga milik KPU sejak Senin (27/11/2023).

Data DPT diketahui bocor, setelah Jimbo mengunggah di laman BreachForums, tempat untuk menjual hasil peretasan. Jimbo membagikan 500 ribu data sampel yang berhasil didapatkannya dari situs KPU. Jimbo juga menyertakan beberapa tangkapan layar dari website https://cekdptonline.kpu.go.id/ guna memverifikasi kebenaran data yang didapatkan.

Dalam unggahan tersebut, Jimbo juga menyebutkan bahwa total ada 252 juta data yang didapatkan, yang beberapa isinya berupa data duplikasi. Setelah dilakukan penyaringan, ada sekitar 204.807.203 data unik yang didapatkan.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini