Laporan wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pembelian alutsista sebuah negara, termasuk Indonesia, bukan hanya sebatas untuk kepentingan pertahanan dari ancaman militer.
Demikian dikatakan Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI, Laksda TNI (purn) Soleman B Ponto.
Menurut dia, pembelian alutsista juga diperlukan sebagai alat untuk diplomasi luar negeri.
"Memang akhirnya alutsista itu kita hanya mendukung diplomasi," kata Soleman dalam diskusi daring 'Meramal Masa Depan Geo Politik dan Hankam dari Visi Misi Capres 2024' pada Jumat (5/1/2024).
"Politik luar negeri akan nol tanpa adanya alutsista," lanjut dia.
Menurutnya pembelian alutsista oleh pemerintah Indonesia memang hanya diperuntukan bagi kepentingan diplomasi.
Pasalnya berbagai pihak otoritas pertahanan dan keamanan negara maupun badan intelijen kata dia, telah menyatakan tidak ada potensi ancaman militer 5-10 tahun ke depan.
"Semua badan intelijen menyatakan tidak ada ancaman militer," ungkapnya.
Kendati demikian, Soleman menjelaskan bahwa pemerintah semestinya tidak menaruh fokus pada pembelian alutsista yang sebenarnya terkait erat dengan ancaman militer.
Sebab di sisi lain juga ada ancaman non militer, seperti krisis pangan, hingga krisis terkait bahan produksi.
Sekadar mengingatkan, tidak ada yang menyangka Rusia pada Februari 2022 melakukan invasi ke Ukraina.
Serangan tersebut dilakukan di tengah krisis global plus pandemi Covid-19.
Hampir semua pakar militer dan intelijen beranggapan bahwa tidak akan ada lagi perang terbuka di era modern setelah invasi Amerika ke Irak.
Namun yang terjadi, Rusia menyerang Ukraina dan perang Armenia Vs Azebaizan.
Gunboat Diplomacy
Sebagai informasi, dalam dunia hubungan internasional dikenal istilah Gunboat Diplomacy.
Diplomasi kapal perang yang dilakukan Amerika untuk membuat agar negara-negara Amerika Tengah dan Amerika Latin tidak menentang politik Amerika, khususnya dalam ambisinya memperoleh wilayah yang mereka anggap sebagai “American destiny.”
Sampai sekarang teknik diplomasi ini masih dijalankan AS dengan sarana-sarana modern berupa armada kapal induk yang beroperasi dan berpatroli di seluruh samudra.
Ketika ketegangan antara Cina dengan Taiwan meningkat dengan Cina melakukan latihan militer di Selat Taiwan (lihat diplomasi peluru kendali), maka AS segera mengirimkan kapal induknya ke sana sebagai deterrence yang ditujukan untuk meredam keinginan Cina untuk menyerbu Taiwan.
Begitu pula kalau ada kawasan lain yang bergejolak, misalnya di perairan Teluk Persia, maka AS segera akan mengirimkan armada kapal induknya mendekati wilayah tersebut.
Dengan kehadiran armada yang berkekuatan tempur sampai 12 kapal dan 100 pesawat tempur termasuk mempunyai kemampuan darurat berupa perang nuklir, gunboat diplomacy ini diharapkan mempunyai efek menakut-nakuti alias deterrence.
Penggunaan kapal tidak terbatas hanya yang tampak di permukaan, tetapi juga manuver kapal selam yang pada masa Perang Dingin sering dilakukan oleh Uni Soviet.