TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat Komunikasi Politik Henri Subiakto menilai polisi keliru dalam memahami dan menerapkan pasal 28 ayat (3) UU Nomor 1 tahun 2024 tentang revisi kedua UU ITE.
Henri Subiakto mengatakan hal itu menyikapi pengkapan aktivis media sosial Palti Hutabarat yang diduga menyebarkan berita bohong (hoaks).
"Memakai pasal tersebut jelas keliru. Saya harus mengoreksi kesalahan polisi ini," ujar Henri Subiakto, Sabtu (20/1/2024).
Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga heran bagaimana mungkin Palti dikenakan pasal yang pengertian dan unsurnya tidak memenuhi.
Palti ditersangkakan melakukan penyebaran berita bohong.
Ini bunyi pasalnya;
“Setiap Orang dengan sengaja menyebarkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang diketahuinya memuat pemberitahuan bohong yang menimbulkan KERUSUHAN di masyarakat."
Baca juga: TPN Ganjar-Mahfud Tegaskan Beri Bantuan Hukum untuk Relawan Palti Hutabarat
Menurut dia yang dimaksud “kerusuhan” adalah kondisi yang mengganggu ketertiban umum di ruang fisik.
Bukan kondisi di ruang digital atau siber sebagaimana di penjelasan pasal 28 ayat 3.
Artinya, menurut Henri Subiakto, pasal larangan menyebarkan berita bohong itu baru bisa dipidana jika berakibat memunculkan kerusuhan di dunia fisik.
"Bukan keributan di dunia digital atau medsos. Ini poin pentingnya," ujar dia.
Pertanyaan Henri Subiakto adalah dimana kerusuhan yang timbol gara-gara repost saudara Palti?
"Ini penting karena merupakan unsur pidana dari pasal baru yang mulai berlaku di UU ITE tahun 2024 yang baru saja ditanda-tangani Presiden Jokowi," katanya.
Menurut dia di UU ITE lama sebelum direvisi, tidak ada pasal delik material yang sanksi hukumannya 6 tahun ini.