Alhasil, MAKI menduga bahwa KPK telah melakukan penghentian penyidikan secara diam-diam.
"Padahal sekalipun Harun Masiku belum ditemukan, termohon (KPK) seharusnya melakukan pelimpahan berkas penyidikan kepada Jaksa Penuntut Umum pada KPK, agar dapat segera dilakukan sidang in absentia sehingga perkara dapat dituntaskan melalui persidangan dan terdapat kepastian hukum melalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde)," demikian petitum dari MAKI.
MAKI pun mencontohkan beberapa kasus korupsi yang tersangkanya melarikan diri, tetapi tetap disidang secara in absentia yaitu kasus korupsi APBD Kabupaten Pali Tahun 2017 dengan terdakwa mantan Sekretaris Dewan Kabupaten Pali, Arif Firdaus.
Meski Arif melarikan diri, persidangan secara in absentia tetap dilakukan oleh PN Tipikor Palembang dengan vonis 15 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider 10 bulan penjara.
Kemudian ada kasus korupsi kondensat dengan terdakwa Honggo Wendratno yang tetap disidang secara in absentia ,meski yang bersangkutan melarikan diri.
Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat pun tetap memvonis Honggo dengan 16 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar.
Baca juga: Boyamin Sebut Harun Masiku Meninggal, KPK: Sejauh Ini Tidak Ada Info Itu, Kami Tetap Mencari
MAKI pun menilai, berkaca dari kedua kasus itu, sudah seharusnya KPK segera melimpahkan berkas perkara Harun Masiku ke jaksa penuntut umum (JPU) agar segera dituntaskan lewat persidangan in absentia.
Namun nyatanya, KPK tidak kunjung melimpahkan berkas perkara Harun Masiku dan dianggap oleh MAKI sebagai penghentian penyidikan secara tidak sah dan melawan hukum.
"Bahwa tindakan Termohon yang tidak melimpahkan berkas penyidikan perkara Harun Masiku ke Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Termohon, adalah bentuk penghentian penyidikan secara tidak sah dan melawan hukum atas perkara suap yang dilakukan oleh Harun Masiku, yang mengakibatkan proses hukum menjadi mengambang dan tidak dapat dituntaskan selama bertahun-tahun, oleh karenanya Pemohon meminta agar penghentian penyidikan yang dilakukan oleh Termohon haruslah dinyatakan tidak sah dan melawan hukum," demikian permohonan dari MAKI.
Adapun petitum dari MAKI yaitu:
Menyatakan menerima dan mengabulkan permohonan PEMOHON untuk seluruhnya;
Menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berwenang memeriksa dan memutus permohonan Pemeriksaan Pra Peradilan atas perkara a quo;
Menyatakan Pemohon sah dan berdasar hukum sebagai pihak ketiga yang berkepentingan untuk mengajukan permohonan praperadilan atas perkara a quo;
Menyatakan secara hukum TERMOHON telah melakukan penghentian penyidikan secara tidak sah dengan tidak melimpahkan berkas perkara penyidikan Harun Masiku dalam kasus suap Pergantian Antar Waktu (PAW) DPR RI periode 2019-2024, kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Termohon;
Memerintahkan TERMOHON untuk melimpahkan berkas perkara penyidikan Harun Masiku dalam kasus suap Pergantian Antar Waktu (PAW) DPR RI periode 2019-2024, kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Termohon, untuk segera dilakukan sidang in absentia ;
Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara.
Lebih lanjut, Boyamin mengatakan gugatan praperadilan ini demi mencegah kasus korupsi Harun Masiku dijadikan komoditas politik dalam Pemilu 2024.
Sehingga, dia berharap hakim mengabulkan gugatan pra peradilannya agar KPK segera menindaklanjuti kasus ini dan segera digelar sidang in absentia.
"KPK harus menuntaskan perkaara ini untuk mencegah perjkara ini dijadikan gorengan politik untuk saling sandera atau serangan lawan politik."
"Dengan berlarut-larutnya perkara ini maka akan selalu didaur ulang untuk kepentingan politik," ujarnya kepada Tribunnews.com.