TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Marsekal TNI (Purn.) Hadi Tjahjanto langsung tancap gas dengan menjadikan skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) masuk dalam skala prioritas 100 hari menjabat.
Dia pun berkomitmen akan terus mengejar tagihan ke debitur dan obligor BLBI hingga ke akar-akarnya.
Namun Ketua Umum Hidupkan Masyarakat Sejahtera (HMS) Center, Hardjuno Wiwoho mengingatkan Menkopolhukan agar bekerja sungguh-sungguh mengejar para perampok uang negara ini dan tidak sekadar lips service saja.
Baca juga: Catatan Mahfud MD untuk Pemerintahan setelah Mundur Jadi Menkopolhukam: BLBI hingga Revisi UU MK
Dia pun berharap, skandal BLBI ini tidak sekedar menjadi komoditas politik demi menyenangkan hati masyarakat.
“Publik tentu menantikan keseriusan pemerintah dalam menyeret pelaku pengemplang BLI ke muka hukum atau setidaknya kerugian negara dapat ditebus,” ujarnya di Jakarta, Kamis (22/2/2024).
Bahkan Hardjuno yang pernah menjabat Staf Ahli Utama Pansus BLBI DPD RI menantang Menko Hadi untuk berani menunjuk hidung siapa obligor BLBI yang menjadi targetnya untuk dikerangkeng ke jeruji besi.
“Berani nggak pak Menko ini. Kalau gak berani tunjuk hidungnya, yah, jangan memberi angin surga ke rakyat. Jangan pula persoalan BLBI sekedar jualan politik. Ingat, masalah skandal BLBI sudah lama terjadi. Dan saya kira, rakyat akan menagih janji pak Menko ini,” jelasnya.
Baca juga: Menangkan Satgas BLBI di Tingkat Kasasi, Hakim Agung Yulius Tuai Apresiasi
Hardjuno melanjutkan skandal BLBI adalah kejahatan ekonomi terbesar dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia.
Meskipun sudah berlalu sekitar 26 tahun sejak tahun 1998, penyelesaian kasus ini tidak menemui titik terang.
Bahkan jalan di tempat.
Padahal, menurut hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2000, BLBI merugikan keuangan negara Rp. 138,442 Triliun dari Rp. 144, 536 triliun BLBI yang disalurkan atau dengan kebocoran sekitar 95,78 persen.
Dari audit dilakukan pada Bank Indonesia dan 48 bank penerima BLBI, dengan rincian: 10 Bank Beku Operasi, 5 Bank Take Over, 18 Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU), dan 15 Bank Dalam Likuidasi.
Hardjuno menilai, proses penegakan hukum terhadap skandal BLIB ini masih menemui sejumlah factor penghamat.
Hal yang paling mencolok adalah lemahnya political will dan political action dari pemimpin negara ini untuk menjadikan hukum sebagai panglima.
Penegakan hukum jelasnya, masih sebatas jargon semata.
Akibatnya, hasil kejahatan BLBI telah beranak pinak menjadi konglomerasi kuat di Indonesia.
Padahal, menurut Hardjuno, yang terpenting adalah tindakan konkrit pemerintah dan aparat penegak hukum, dan bukan sekedar janji manis semata.
“Dan ingat, korupsi BLBI adalah salah satu skandal korupsi terbesar dan dinilai belum tuntas hingga hari ini,” terangnya.
Baca juga: Pansus DPD RI Siap Duduk Bareng MA Guna Percepat Pengembalian Dana Negara di Kasus BLBI
Sebelumnya, Hadi menegaskan masalah BLBI ini menjadi prioritas di hari pertama bekerja sebagai Menko Polhukam.
Setelah berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga lainnya dirinya akan langsung terjun ke lapangan untuk menyelesaikan permasalahan pengemplang utang BLBI.
"Karena permasalahan itu juga menyangkut permasalahan tanah yang selama ini saya bantu sebagai Menteri ATR, membantu untuk menyelesaikan permasalahan BLBI," ujar Hadi.
Skandal BLBI bermula ketika Bank Indonesia menggelontorkan dana sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank yang hampir bangkrut akibat krisis ekonomi 1998. Para obligor itu seharusnya mengembalikan semua dana BLBI, namun kenyataannya hanya sedikit yang membayarnya.