Ketua Badan Pengurus Amnesty Internasional Indonesia Marzuki Darusman memandang kecenderungan meningginya pembatasan ini merupakan implikasi dari sikap Presiden Joko Widodo yang membela satu kubu.
"Ini menimbulkan situasi di mana orang-orang yang tidak sekubu dengannya, seolah berada di luar perlindungan hukum negara," kata dia.
Amnesty juga mencatat, pembatasan semakin marak pada hari-hari menjelang pemungutan suara pada 14 Februari.
Pada 1 Februari, Amnesty mencatat salah seorang warga asing yang hadir dan melakukan pemotretan Aksi Kamisan di Jakarta diamankan petugas imigrasi.
Kemudian pada 3 Februari, sekelompok orang membubarkan paksa rapat mahasiswa di dekat Universitas Trilogi Jakarta bertema “Pemilu Curang dan Pemakzulan Presiden Joko Widodo.”
Pada 5 Februari, Amnesty mencatat terjadi sabotase di acara deklarasi akademik guru besar Institut Teknologi Bandung (ITB) bertajuk “Mencegah Kemunduran Demokrasi Malu Menjadi Bangsa.”
Kemudian pada 7 Februari, sekitar 100 orang menggelar protes di depan kantor YLBHI dan KontraS yang menuduh kedua lembaga tersebut melakukan provokasi isu pemakzulan Presiden.
Selain itu, Amnesty juga mencatat setelah dirilis pada 11 Februari, sejumlah aktivis yang berperan dalam film dokumenter “Dirty Vote” dilaporkan ke polisi yakni adalah Dandhy Laksono (sutradara) dan tiga pengajar hukum tata negara, yakni Zainal Arifin Mochtar, Feri Amsari, dan Bivitri Susanti.
Film yang menyoroti dugaan kecurangan Pemilu 2024 tersebut, kata Amnesty, dituduh sebagai kampanye hitam terhadap pasangan capres dan cawapres tertentu dan melanggar ketentuan masa tenang.
Baca juga: Amnesty International Indonesia: 268 Pembela HAM Jadi Korban Serangan pada Tahun 2023
Kemudian sehari jelang pencoblosan, pada 13 Februari, Amnesty mencatat sekelompok orang menyerang sejumlah mahasiswa saat menggelar aksi penyampaian pendapat di dekat Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat yang menyoroti kecurangan pemilu dan mendesak pemakzulan Presiden Jokowi.
"Pola kriminalisasi dan pembungkaman kritik-kritik atas pemilu seakan membawa kita ke masa Orde Baru, ketika kritik-kritik yang ingin memastikan pemilu berintegritas dianggap sebagai ancaman," kata Marzuki.
"Negara tidak boleh membiarkan praktik-praktik intimidasi dan pembatasan hak berkumpul dan berekspresi. Itu hak publik untuk melakukan kontrol sosial atas proses Pemilu 2024 yang bebas dan adil," sambung Marzuki.