Di Indonesia, menurut Profesor Stenberg, pertunjukan wayang tersebut pertama kali berkembang di Semarang.
Yang menarik, dalam pandangan ahli Tionghoa yang fasih berbahasa Mandarin itu, Wayang Potehi telah mengalami proses ‘indigenisasi,’ (pempribumian) yaitu sebuah proses yang menjadi budaya yang awalnya berasal dari luar Indonesia menjadi sebuah budaya yang berakar dan mengandung unsur-unsur lokal di Indonesia.
“Orang-orang dari Taiwan dan Daratan Tiongkok, yang merupakan negeri asal wayang potehi, akan mengalami kesulitan untuk memahami pertunjukan wayang potehi di Indonesia,” tutur Profesor Stenberg.
Pada sisi lain, menurut beliau, di antara orang-orang yang terlibat dalam pertunjukan wayang potehi, termasuk mereka yang mempertunjukannya, terdapat sejumlah besar orang-orang non-Tionghoa.
Profesor Stenberg berpandangan bahwa wayang potehi telah menjadi fenomena “pasca etnik”, karena meski berasal dari Tiongkok, ia tak lagi dipertunjukan menggunakan bahasa Tionghoa, dan telah mengandung berbagai unsur yang bukan lagi Tionghoa.
“Potehi telah menjadi sepenuhnya Indonesia. Pertunjukan ini bukan menjadi duta bagi budaya etnik Tionghoa, tetapi sebagai simbol dari budaya antar-etnik,” pungkasnya.
Dwi Woro Retno Mastuti, dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia yang juga Pegiat Wayang Potehi sekaligus Founder Rumah Cinta Wayang (Cinwa), menjelaskan, wayang potehi merupakan salah satu seni pertunjukan wayang Peranakan Cina Jawa, yang biasanya digelar di berbagai klenteng di pulau Jawa sebagai bagian dari kegiatan ritual umat Kong Hu Cu.
Menurut pendiri Sanggar Budaya Rumah Cinwa itu, potehi biasanya mengisahkan berbagai mitos dan legenda asal Tongkok, seperti Sie Jin Kwi, Sam Kok, San Pek Eng Tai, dan Li Si Bin.
Yang menarik, kisah-kisah di atas justru ditulis dalam aksara Jawa. Hal ini membuat Ibu Woro mendukung pandang bahwa potehi memang bukan lagi budaya Tionghoa semata, namun telah menjadi budaya Indonesia.
“Potehi sudah bagian dari bangsa Indonesia lho, bagian dari keragaman menjadi Indonesia. Karena bahasanya Indonesia, pemainnya Indonesia, pengrajinnya orang Jawa, pendukungnya anak anak muda Indonesia,” ujarnya.
Baca juga: Keragaman Budaya, Cap Go Meh Wujud Ungkapan Rasa Syukur Masyarakat Tionghoa
Dwi Woro dan komunitas Rumah Cinwa bertekad terus melestarikan wayang potehi.
“Karena ini merupakan bagian dari upaya merawat kebhinekaan Indonesia,” pungkasnya. Dalam seminar di atas, hadir pula Afdal Ridho Arman, seorang sutradara muda dan praktisi film yang karyanye mengenai potehi ditayangkan dalam seminar di atas.
Acara seminar diakhiri dengan sebuah himbauan dari FSI, agar masyarakat Indonesia mempertahankan, dan bahkan meningkatkan, pandangan bahwa budaya-budaya Tionghoa, bukan hanya potehi, adalah bagian dari bangsa Indonesia yang harus kita terima dan hargai.
Di sisi lain, masyarakat Tionghoa bersama-sama dengan komponen bangsa lainnya, perlu untuk terus mengembangkan dan mempopulerkan budaya Tionghoa yang telah berakar di Indonesia, dan yang telah mengandung nilai-nilai keindonesiaan.
Perayaan budaya semacam ini perlu dikedepankan dan diutamakan, dibandingkan dengan perayaan budaya yang masih terlihat asing, yang justru memberi ruang bagi negara lain (termasuk Tiongkok) untuk menancapkan pengaruh kuasa lunaknya di Indonesia.