Laporan Wartawan Tribunnews.com Ashri Fadilla
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kejaksaan Tinggi Bangka Belitung menetapkan bos timah berinisial RS sebagai tersangka terkait perusakan hutan lindung untuk tambang timah.
Luasan hutan lindung yang dirusak untuuk kepentingan pertambangan ini mencapai 10,5 hektar.
"Tim Penyidik menetapkan saudara RS sebagai Tersangka dengan dugaan tindak pidana yakni merusak hutan lindung seluas 10,5 hektar Pantai Bubus untuk penambangan timah pada Januari 2022 sampai dengan Juni 2023," kata Asisten Intelijen Kejati Bangka Belitung, Fadil Regan dalam keterangannya, Jumat (8/3/2024).
Penetapan tersangka ini dilakukan setelah tim penyidik menangkap RS di Riau Silip, Kabupaten Bangka.
Peristiwa penangkapan itu sempat diwarnai kejar-kejaran antara tim penyidik dengan RS.
Baca juga: Pakar Hukum: Kejagung Sudah Tepat Tetapkan Budi Said Tersangka
Bahkan Kejati Babel sampai melibatkan polisi untuk penangkapan tersebut.
"Saat peristiwa penangkapan berlangsung, Tim Penyidik Kejaksaan Tinggi Kepulauan Bangka Belitung sampai harus melibatkan Satuan Lalu Lintas untuk menghentikan laju mobil yang dikendarai oleh saudara RS. Pengejaran terhadap saudara RS baru terhenti di depan SPBU Kayu Arang di Desa Cit, Kecamatan Riau Silip, Kabupaten Bangka," katanya.
Menurut Fadil, RS berupaya pergi ke Jakarta untuk menghindari pemeriksaan tim penyidik.
Karena sikap tak kooperatif itu, Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta kemudian menerbitkan Surat Perintah Penangkapan pada Kamis (7/3/2024).
Baca juga: Kejagung Minta Hakim Tolak Praperadilan Budi Said soal Kasus Dugaan Korupsi Emas Antam
"RS merupakan Pengusaha Timah yang mangkir dari panggilan penyidik dengan berusaha melarikan diri untuk terbang ke Jakarta. Saudara RS diamankan berdasarkan Surat Perintah Penangkapan Kepala Kejaksaan Tinggi Kepulauan Bangka Belitung Nomor PRINT-712/L.9/Fd.2/03/2024," kata Fadil.
Dalam perkara ini, RS diduga merusak hutan lindung menggunakan mesin tambang inkonvensional ukuran 38 dan 41 sebanyak 2 unit.
Tindakan itu menurut tim penyidik, dilakukan bersama dengan PPN, tersangka yang sudah ditetapkan sebelumnya.
"Akibat perbuatan keduanya, negara mengalami kerugian kurang lebih sebesar Rp 16 miliar," katanya.
Dalam perkara ini, tersangka dijerat Pasal 2 Ayat (1) subsidair Pasal 3 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.