News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pilgub DKI Jakarta

Mendagri Ungkap Alasan Dewan Aglomerasi Dipimpin Wapres Lewat RUU DKJ

Penulis: Fersianus Waku
Editor: Muhammad Zulfikar
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian menggelar rapat dengan Badan Legislasi (Baleg) DPR RI di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (13/3/2024).

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fersianus Waku

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian mengungkapkan alasan Dewan Kawasan Aglomerasi dipimpin wapres sebagaimana tertuang dalam draf Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ).

Tito mengatakan, pemerintah sudah membentuk tim untuk membuat draf pembahasan RUU DKJ sejak April 2024.

Baca juga: Bahas RUU DKJ Bersama Baleg DPR, Mendagri Tegaskan Gubernur Jakarta Tetap Dipilih Rakyat

Menurutnya, tim itu melibatkan para ahli dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Indonesia (UI), Universitas Gajah Mada (UGM) hingga pakar hukum tata negara, Jimly Asshiddiqie.

Dia menuturkan, setelah itu dilakukan berbagai diskusi atau forum group discussion (FGD) membahas RUU tersebut.

"Dan munculah isu dalam FGD itu tentang pentingnya penataan atau harmonisasi pembangunan mulai dari perencanaan sampai evaluasi, yaitu Jakarta dan kota sekitarnya karena sudah menjadi satu kesatuan," kata Tito saat menggelar rapat dengan Badan Legislasi (Baleg) DPR RI di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (13/3/2024).

Baca juga: Wapres Bakal Pimpin Kawasan Aglomerasi di RUU DKJ, Pengamat: Tumpang Tindih Kewenangan

Sebab, kata Tito, banyak persoalan yang menjadi permasalahan bersama, mulai dari lalu lintas, polusi, banjir, migrasi penduduk hingga masalah di bidang kesehatan.

Karenanya, dia menegaskan, perlunya ada harmonisasi dan penataan serta evaluasi untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya.

"Oleh karena itu, ada berbagai istilah yang saat itu muncul apakah membentuk namanya kawasan metropolitan Jakarta, Jabodetabek atau namanya megapolitan atau namanya aglomerasi," ujar Tito.

Tito menuturkan, saat itu sejumlah pihak menentang jika kawasan Jakarta dan sekitarnya dinamai megapolitan dan metropolitan karena dianggap seakan-akan dijadikan satu pemerintahan.

"Ini banyak ditentang karena nanti akan mengubah UU banyak sekali, UU Jabar, UU Banten, UU tentang Depok, UU tentang Bekasi, banyak sekali. Sehingga akhirnya disepakati saat itu disebut saja dengan kawasan aglomerasi," ungkapnya.

"Artinya tidak ada keterikatan masalah administrasi pemerintahan, tapi ini satu kawasan yang perlu diharmonisasikan program-programnya. Terutama yang menjadi common problem," ucap Tito menambahkan.

Tito menjelaskan, kawasan aglomerasi prinsipnya adalah harmonisasi program perencanaan dan evaluasi secara reguler.

Baca juga: Bandingkan dengan Yogyakarta, Pakar Usul RUU DKJ Atur Gubernur Jakarta Bukan Dipilih Lewat Pilkada

"Supaya on the track dan ini perlu ada yang melakukan itu yang melakukan sinkronisasi ini, maka karena ini problem tidak bisa ditangani satu menteri misalnya Bappenas sendiri enggak bisa, ditangani satu Menko pun tak bisa," tutur Tito.

Dia menambahkan, saat itu diambil kesimpulan bahwa untuk melakukan sinkronisasi diperlukan peran dari presiden atau wakil presiden.

"Kita melihat itu bahwa presiden memiliki tanggungjawab nasional yang luas sekali, maka perlu lebih spesifik ditangani wapres," imbuh Tito.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini