Dia mencatat, DPR terakhir kali menggunakan hak angket terhadap KPK pada tahun 2017.
Bivitri membandingkan kerja anggota DPR yang sigap mambahas sejumlah undang-undang (UU) dibandingkan menggulirkan hak angket dugaan kecurangan TSM pada Pemilu 2024.
Disebutkan, DPR hanya butuh 43 hari untuk memproses UU IKN, 14 hari untuk menyelesaikan revisi UU 30/ 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan enam hari untuk revisi UU 4/2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara (Minerba).
Baca juga: Adian Napitupulu Sebut PDIP Siap Gulirkan Hak Angket, Naskah Lebih dari 100 Halaman Sudah Disusun
“Para guru besar geregetan karena hak angket belum juga digulirkan di DPR. Kami paham dinamika di DPR ada kasus atau belum tentu solid, ada yang ‘disetrum’. Kami yang di luar berharap. Ayolah wakil rakyat tunjukkan bahwa kalian menjadi penyeimbang yang baik dari kekuasaan yang disalahgunakan,” ujar pemeran film dokumenter “Dirty Vote.”
Bivitri menjelaskan, pengadilan rakyat dibuat untuk mendorong DPR supaya melaksanakan fungsinya, dan pengadilan rakyat ini bukan suatu hal yang luar biasa.
Ini seperti unjuk rasa, tapi lebih kelihatan pembuktiannya untuk mendorong peristwa politik besar yang akhirnya mendorong para politikus untuk melakukan langkah politik.
“Kami merasa kalau kami semata-mata bergantung pada lembahga formal seperti Mahkamah Konstitusi (MK), kita punya banyak tantangan.” ujarnya.
Pertama, ada ketidak percayaan karena putusan MK Nomor 90 tahun 2023 yang membuka jalan bagi putra Presiden Joko Widodo (Jokowi) Gibran Rakabuming Raka untuk maju sebagai Cawapres pada Pilpres 2024.
Kedua, keterbatasan MK yang hanya mengadili selisih hasil perolehan suara pada pilpres, tapi dugaan kecurangan TSM seperti politik gentong babi, pengerahan aparat tidak akan bisa terungkap di MK kecuali di DPR dalam bentuk hak angket.