TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kuasa Hukum PT Aneka Tambang (PT Antam), Fernandes Raja Saor meyakini majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan bakal menolak praperadilan yang diajukan tersangka kasus dugaan korupsi terkait jual beli emas PT Antam 1,1 kilkogram, Budi Said terhadap Kejaksaan Agung.
Diketahui, majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan bakal membacakan putusan praperadilan Budi Said di PN Jakarta Selatan, Senin (18/3/2024) besok.
"Dari perspektif hukum, kami percaya bahwa tidak terdapat dasar yang memadai bagi Majelis Hakim untuk menyetujui permohonan praperadilan yang diajukan oleh Budi Said. Upaya yang dilakukan oleh Kejaksaan dalam penyidikan terhadap Budi Said telah sesuai dengan aturan-aturan yang terdapat pada KUHAP. Kami berharap agar Majelis Hakim memiliki pandangan yang sejalan dengan kami," kata Fernandes Raja Saor kepada wartawan di Jakarta, Minggu (17/3/2024) malam.
Baca juga: Kena Karma! 15 Pegawai Rutan KPK Biasa Layani Tahanan Kini jadi Tahanan, Termasuk Otak Pelaku
Diberitakan, pengusaha Budi Said yang dikenal sebagai Crazy Rich Surabaya mengajukan praperadilan atas penetapan dirinya sebagai tersangka kasus dugaan korupsi terkait jual beli emas PT Antam sebanyak 1,136 kilogram atau senilai lebih Rp 1,1 triliun, oleh Kejaksaan Agung.
Pasalnya, Budi menilai penetapan tersangka terhadapnya tanpa adanya dua alat bukti permulaan yang cukup. Selain itu, ia juga beranggapan bahwa objek penyidikan dalam kasus yang menjeratnya masih dalam lingkup hukum perdata.
Menurut Fernandes, ada beberapa alasan kenapa majelis hakim perlu menolak praperadilan Budi Said. Pertama, tindakan Kejaksaan Agung selaku penyidik dalam penyidikan perkara Budi Said telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
"Kejaksaan menyatakan bahwa semua upaya paksa dalam penyidikan terhadap Budi Said, seperti penetapan tersangka, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku," tegasnya.
Selain itu kata dia, pokok permohonan Budi Said yang menyatakan bahwa kasus ini merupakan sengketa perdata yang telah diputus sampai tingkat Peninjauan Kembali (PK), dianggap tidak jelas, karena pokok permohonan tersebut telah masuk ke dalam pokok perkara dan bukan merupakan objek pra peradilan.
"Alasan lain bahwa Petitum yang diajukan oleh Budi Said dianggap tidak jelas dan tidak berdasar," jelasnya.
"Jadi, Kejaksaan memutuskan untuk menetapkan Budi Said sebagai tersangka karena memiliki dasar hukum yang didasarkan pada dua alat bukti, seperti yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Salah satu dari dua alat bukti yang sah yang dimiliki oleh Kejaksaan adalah ekspose dari BPKP. BPKP adalah salah satu lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengkonfirmasi adanya kerugian negara,"tambah Fernandes.
Baca juga: Polisi Dalami Unsur Pidana di Kasus Dugaan Perselingkuhan Pedangdut TE hingga Penghalangan ASI
Diketahui kasus ini bermula saat Budi Said membeli 7 ton emas dari Antam pada 2018 dengan harga diskon atau senilai Rp 3,9 triliun. Namun, Budi hanya menerima sebanyak 5,9 ton dan 1,1 ton emas sisanya tidak pernah diterima. Budi merasa ditipu dan mengirim surat ke Antam Cabang Surabaya, tetapi tidak pernah dibalas.
Akhirnya dia berkirim surat ke Antam Pusat Jakarta dan dinyatakan bahwa Antam tidak pernah menjual emas dengan harga diskon. Kemudian dia membawa kasus ini ke meja hijau secara perdata.
Baca juga: Kritisi Rencana TNI dan Polri Aktif Isi Jabatan Sipil, Imparsial: Bertentangan Prinsip Demokrasi
Budi Said memenangi gugatan tersebut hingga tingkat Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung (MA) hingga PT Antam diputuskan untuk membayar 1,1 ton emas atau setara Rp 1,1 triliun kepada Budi Said.
Namun, belakangan rupanya Kejaksaan Agung menemukan alat bukti adanya tindaj pidana korupsi dalam rangkaian jual beli emas PT Antam oleh Budi Said tersebut. Dan akhirnya Kejaksaan Agung menetapkan Budi Said dsebagai tersangka karena diduga telah melakukan Permufakatan Jahat merekayasa transaksi jual beli emas PT Antam dengan cara menetapkan harga di bawah harga yang telah ditetapkan oleh PT Antam dengan dalih seolah-olah ada diskon. (Willy Widianto)