TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) adalah musuh bangsa, sehingga pejabat negara yang terlibat praktik KKN wajib mengundurkan, termasuk Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Mantan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Profesor Hafid Abbas menegaskan, siapa pun yang terlibat praktik KKN harus mundur dari jabatannya di pemerintahan.
Baca juga: Usman Hamid Anggap Presiden, Ketua MK dan KPU Pertontonkan Pengkhianatan Pemberantasan KKN
Seruan itu merupakan salah satu dari 7 Seruan Salemba yang diinisiasi sekitar 300 anggota komunitas kampus se-Jabodetabek, termasuk para guru besar.
"Jangan ada musuh pada personifikasi atau siapa pun. Musuh bangsa ini adalah KKN. Kampus bergerak memusuhi siapa yang berbau KKN. Jadi siapa pun yang berada pada parameter itu, harus mengundurkan diri. Bukan hanya Jokowi, tapi siapa pun yang melakukan praktik KKN harus mundur," kata Abbas seperti dikutip dari kanal Abraham Samad “Speak Up,” Rabu (20/3/2024).
Abbas yang juga Guru Besar Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Indonesia seharusnya meniru budaya mundur para pejabat di Jepang, seperti menteri luar negeri Jepang yang mundur karena menerima donasi politik sebesar Rp 5,2 juta dari tetangganya yang warga negara Korea Selatan.
Undang-undang di negara Matahari Terbit itu tidak mengizinkan donasi politik dari warga yang tidak berkewarga negaraan Jepang. Kemudian, menteri dalam negeri Jepang mundur karena makan bersama dengan pengusaha.
Baca juga: Cak Imin: KKN Dimana-mana, Kalau Enggak Punya Ordal Minimal Punya Paman
Abbas menyebut bahwa komunitas kampus saat ini turun karena menyaksikan ketimpangan pada rezim pemerintahan saat ini. Salah satunya, pelaksanaan Pemilu 2024 yang terindikasi curang, berbau nepotisme karena keberadaan Cawapres Gibran Rakabuming Raka yang notabene anak dari Presiden Jokowi.
Gibran maju dalam Pilpres 2024 setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan Nomor 90/2023 tentang batas usia capres-cawapres. Dengan putusan ini, maka Gibran yang tidak memenuhi batas usia minimal 40 tahun bisa melenggang ke Pilpres 2024 walau berusia 36 tahun.
Terancam Negara Gagal
Abbas menuturkan, kecurangan Pemilu 2024 hanya salah satu persoalan dari sejumlah persoalan kebangsaan yang merisaukan komunitas kampus.
Dia mengutip data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menggolongkan Indonesia sebagai negara terancam gagal (failure state).
“Paling buruk Somalia sudah warna merah di laporan PBB. Indonesia bergerak ke arah sana. Ini berbahaya. Kampus melihat hal ini tidak baik dan harus dikoreksi,” katanya.
Dia menjelaskan beberapa parameter yang membuat Indonesia terancam menjadi negara gagal. Menurutnya, saat awal Jokowi menjabat sebagai presiden tahun 2014, Indonesia masih menjadi negara yang diperhitungkan di kancah internasional dilihat dari beberapa indikator yang bersifat internasional, seperti indeks pemberantasan korupsi, indeks demokrasi, dan indeks penerapan hukum.
Saat ini, ujarnya, skor Indeks Demokrasi sempat 49, tetapi turun ke posisi 66 sehingga dilampaui oleh Timor Leste, Papua Nugini, Malaysia, dan Filipina.
Selanjutnya, Indeks Persepsi Korupsi untuk tahun 2022, Indonesia memperoleh skor 34 dengan peringkat 110 dari 180 negara. Skor itu turun 4 poin dari tahun sebelumnya dan merupakan skor terendah Indonesia sejak tahun 2015. Kemudian, nilai kebebasan sipil sempat di angka 07, kini turun menjadi 0,3.
“Kontrol dari masyarakat juga diamputasi, dulu nilai civil liberty 0,7 sekarang 0,3 rendah sekali. Hancur memalukan, kalau dibiarkan terus kita hancur, bisa bubar sebagai negara karena semua parameter kesejahteraan turun,” ujarnya.
Begitu juga dengan indeks kualitas penerapan hukum (rule of law index) turun menjadi 0,53.
“Ini artinya jika ada 10 kasus maka 50 persen bisa direkayasa. Jadi ini surga pelanggaran hukum seperti penyelundupan. Ini tidak masuk akal. Selama masa pemerintahan Jokowi terjadi degradasi,” tukasnya.
Baca juga: Arnod Sihite Sebut Banyak Anggota DPR Terpilih Produk KKN, Demokrasi dalam Ancaman Serius
Merisaukan Kampus
Lebih lanjut Abbas mengatakan, ada empat hal yang merisaukan komunitas kampus. Pertama, Bank Dunia menyebut Indonesia terancam pecah (bubar) yang antara lain, akibat diskriminasi yang sangat ekstrem.
Abbas mencontohkan, distribusi tanah di sejumlah provinsi kalau dihitung jumlahnya tidak satu meter lagi untuk penduduk setempat, karena izin penggunaan lahan yang diberikan kepada pengusaha dalam dan luar negeri bisa dua kali lebih luas seperti di Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, dan Sulawesi Tenggara,
“Sebenarnya Indonesia sudah tidak ada karena tanah sudah diberikan kepada para pengusaha dari Tiongkok dan Singapura. Ini merisaukan. Terjadi proses pemiskinan massal karena tidak ada aset tanah sebab sudah dikuasai para pengusaha,” bebernya.
Kedua, kualitas sumber daya manusia (SDM) rendah akibat mutu pendidikan rendah, sehingga SDM yang bisa diserap di sektor informal dengan upah murah.
Ketiga, negara tidak hadir untuk mengangkat pemberdayaan. Uang yang beredar tidak sampai kepada rakyat berekonomi lemah. Uang hanya sampai pada kelompok ekonomi atas. Usaha kecil mikro (UKM) tidak tersentuh bank karena tidak memenuhi persyaratan untuk dibantu negara.
Baca juga: Bicara Negara Gagal, Pakar Hukum Tata Negara UGM Singgung Soal Pemburu Rente
Keempat, rakyat tidak mempunyai tabungan. Jika dilihat 400 juta hingga 500 juta rekening di seluruh Indonesia, 98% nilainya kecil-kecil dan cenderung turun.
Pada tahun 2018, rata-rata nilai tabungan yang dimiliki rakyat di atas Rp 3 juta, tapi di penghujung era kepemimpinan Jokowi turun menjadi Rp 2 juta.
“Dan lebih dari 70% ada di Jawa, sedangkan di luar Jawa sulit untuk menyekolahkan anaknya, sulit untuk berobat. Ini dikatakan Bank Dunia Indonesia terancam bubar dan kampus bersuara. Jujurlah pada negara, jangan rekayasa lagi,” tuturnya.
Dia menambahkan, pemerintah hendaknya tidak arogan dan berlebihan menanggapi gerakan komunitas kampus, karena bila masukan dari elemen kampus dihargai maka kondisi negara akan baik. Masukan dari komunitas kampus mempunyai kontribusi ilmiah, berdasarkan analisis dan bukan dukun.