News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pilpres 2024

Contoh Amicus Curiae di Indonesia: Kasus Sambo Hingga Prita Mulyasari

Editor: willy Widianto
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto mewakili Megawati Soekarnoputri menyerahkan surat Amicus Curiae atau Sahabat Pengadilan jelang putusan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pilpres 2024 ke Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (16/4/2024). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum PDI Perjuangan (PDIP) sekaligus Presiden ke-5, Megawati Soekarnoputri mengajukan diri menjadi amicus curiae meminta Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pilpres 2024 yang diajukan ke MK.

Amicus Curiae merupakan upaya memberikan pendapat hukum kepada pengadilan karena seseorang atau ada pihak ketiga yang merasa berkepentingan terhadap sebuah perkara.

Amicus Curiae juga lazim disebut 'Sahabat Pengadilan'. Dasar hukum dari Amicus Curiae terdapat pada Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang isinya:

“Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”

Dikutip dari jurnal hukum Universitas Islam Indonesia(UII) Yogyakarta menyebutkan Amicus Curiae hanya sebatas memberikan opini, dan bukan melakukan perlawanan.

Praktik Amicus Curiae ini sebenarnya sudah lazim dipakai di negara yang menggunakan sistem common law dan bukan sistem civil law yang dianut oleh Negara Indonesia, namun bukan berarti praktik ini tidak pernah diterapkan atau dipraktikkan di Indonesia.

Dengan demikian, dalam peradilan Indonesia, Amicus Curiae belum diatur secara jelas, namun dasar hukum diterimanya konsep Amicus Curiae di Indonesia adalah Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Ada beberapa contoh kasus Amicus Curiae yang pernah terjadi di Indonesia:

1. Kasus Majalah Time vs Presiden Soeharto

Berawal saat majalah Time edisi Asia Volume 153 Nomor 20 terbitan 24 Mei 1999 memuat pemberitaan dan gambar Presiden Soeharto dengan judul sampul “Soeharto Inc. How Indonesia’s longtime boss built a family fortune”. Majalah ini mengupas tentang bagaimana Soeharto membangun kekayaan keluarganya atau Soeharto Inc atau Perusahaan Soeharto dan tentang kekayaan Soeharto senilai Rp 9 miliar dolar AS yang ditransfer dari Swiss ke Austria.

Pemberitaan dianggap provokatif Soeharto lalu menggugat majalah tersebut ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Dalam putusannya pada 9 November 1999, majelis hakim PN Jakarta Pusat menolak seluruh tuntutan dari Soeharto selaku penggugat dikarenakan pemberitaan Time tidak memenuhi unsur perbuatan melawan hukum. Soeharto lalu mengajukan upaya hukum banding, namun, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta melalui putusannya pada 6 Juni 2000, menguatkan putusan PN Jakarta Pusat. Soeharto yang belum puas kembali melakukan upaya hukum dengan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).

Hasilnya, MA membatalkan putusan tingkat pertama dan banding pada 30 Agustus 2007. MA menghukum Time untuk membayar ganti rugi imateriil kepada Soeharto senilai Rp 1 triliun dan meminta maaf secara terbuka di media nasional maupun internasional. Tidak terima dengan keputusan ini, Time mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) kepada MA. Kelompok pegiat kemerdekaan pers kemudian mengajukan amicus curiae kepada MA terkait kasus ini. Majelis peninjauan kembali kemudian mengabulkan PK yang diajukan Time pada 16 April 2009 dan menyatakan majalah tersebut tidak melakukan perbuatan melawan hukum. Putusan ini sekaligus membatalkan putusan kasasi sebelumnya.

2. Kasus Prita Mulyasari

Lima lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang hukum mengajukan amicus curiae dalam kasus Prita Mulyasari pada Oktober 2009. Kelima LSM itu adalah Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dan Indonesia Media Defense Litigation Network (IMDLN).

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini