News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Polemik UKT di Perguruan Tinggi Negeri

Ketua Komisi X DPR: Apa Orang Miskin Dilarang Kuliah?

Penulis: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda memimpin rapat di gedung DPR Jakarta beberapa waktu lalu.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pernyataan Sekretaris Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendikbud Ristek Tjitjik Sri Tjahjani tentang pendidikan tinggi sebagai pendidikan tersier mendapat tanggapan banyak kalangan.

Pernyataan tersebut kian menebalkan persepsi jika pendidikan tinggi bersifat elitis dan hanya untuk kalangan tertentu saja.

“Kami prihatin dengan pernyataan pernyataan Prof Tjitjik bahwa perguruan tinggi merupakan pendidikan tersier yang bersifat opsional atau pilihan. Bagi kami pernyataan itu kian menebalkan persepsi jika orang miskin dilarang kuliah. Bahwa kampus itu elit dan hanya untuk mereka yang punya duit untuk bayar Uang Kuliah Tunggal,” ujar Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda, Sabtu (18/5/2024).

Huda mengatakan Pernyataan Pendidikan Tinggi itu pendidikan tersier itu benar tapi kurang tepat.

Apalagi ini disampaikan oleh pejabat publik yang mengurusi pendidikan tinggi.

Disampaikan dalam forum resmi temu media untuk menanggapi protes kenaikan UKT di sejumlah perguruan tinggi negeri.

“Kalau protes kenaikan UKT direspons begini ya tentu sangat menyedihkan,” tukasnya.

Baca juga: Uang Kuliah Naik, Berikut 4 Negara di Dunia dengan Biaya Kuliah Termurah, Kamu Bisa Coba

Dia menegaskan pernyataan pendidikan tinggi bersifat tersier oleh pejabat tinggi Kemendikburistek bisa dimaknai jika pemerintah lepas tangan terhadap nasib mereka yang tidak punya biaya tapi ingin kuliah.

Padahal di sisi lain pemerintah gembar-gembor ingin mewujudkan Indonesia Emas 2045. Ingin memanfaatkan bonus demografi agar tidak menjadi bencana demografi.

“Tapi saat ada keluhan biaya kuliah yang tinggi dari mahasiswa dan masyarakat seolah ingin lepas tangan,” katanya.

Politikus PKB ini mengungkapkan kesempatan mengenyam pendidikan tinggi di Indonesia bagi peserta memang relatif rendah.

Berdasarkan data BPS tahun 2023 Angka Partisipasi Kasar Pendidikan Tinggi Indonesia itu masih 31,45 persen.

Angka ini tertinggal dari Malaysia 43%, Thailand 49%, dan Singapura 91%. “Salah satu kendala faktor pemicu rendahnya angka partisipasi kasar pendidikan tinggi di Indonesia adalah karena persoalan biaya,” katanya.

Di sisi lain, kata Huda anggaran pendidikan di Indonesia setiap tahun relatif cukup besar dengan adanya mandatory spending 20% dari APBN.

Tahun ini saja ada alokasi APBN sebesar Rp665 triliun untuk anggaran pendidikan.

“Nah ini ada apa kok sampai ada kenaikan UKT besar-besaran dari perguruan tinggi negeri yang dikeluhkan banyak mahasiswa. Apakah memang ada salah kelola dalam pengelolaan anggaran pendidikan kita atau ada faktor lain” katanya.

Huda mengatakan saat ini Komisi X telah membuat Panitia Kerja (Panja) Biaya Pendidikan untuk menelusuri tata kelola anggaran pendidikan di tanah air.

Diharapkan Panja Biaya Pendidikan akan memunculkan rekomendasi terkait perbaikan tata kelola anggaran pendidikan baik menyangkut pola distribusi, penentuan subjek sasaran, hingga jenis program.

“Kami berharap rekomendasi Panja Biaya Pendidikan ini bisa menjadi acuan penyusunan RABPN 2025,” pungkasnya

Duduk Perkara

Diberitakan Tribun Medan, Tjitjik Sri Tjahjandarie yang merupakan Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek menjadi sorotan setelah pernyataannya soal perguruan tinggi dan kenaikan Uang Kuliah Tunggal atau UKT yang jadi sorotan akhir-akhir ini.

Tjitjik Sri Tjahjandarie juga viral setelah pernyataannya perguruan tinggi atau kuliah tidak wajib melainkan tersier.

Tjitjik menyebutkan bahwa biaya kuliah harus dipenuhi oleh mahasiswa agar penyelenggaraan pendidikan itu memenuhi standar mutu.

"Dari sisi yang lain kita bisa melihat bahwa pendidikan tinggi ini adalah tertiary education. Jadi bukan wajib belajar.

Artinya tidak seluruhnya lulusan SLTA, SMK itu wajib masuk perguruan tinggi. Ini sifatnya adalah pilihan," ucapnya dilansir Tribun-medan.com dari video yang tengah ramai di media sosial X, Jumat (17/5/2024).

"Siapa yang ingin mengembangkan diri masuk perguruan tinggi, ya itu sifatnya adalah pilihan, bukan wajib," imbuhnya.

Ia juga menegaskan pemerintah fokus untuk memprioritaskan untuk pendanaan pada pendidikan wajib 12 tahun.

Perguruan tinggi tidak masuk prioritas karena masih tergolong pendidikan tersier.

Ia juga mengatakan bahwa sejumlah PTN memang tengah menambah kelompok UKT untuk menggaet mahasiswa dari keluarga yang dikategorikan mampu secara ekonomi.

"Ada beberapa perguruan tinggi yang memang menambahkan kelompok UKT-nya itu jadi lebih banyak.

Jadi bukan menaikkan UKT ya, tapi menaikkan kelompok UKT-nya jadi lebih banyak," kata Tjitjik dalam konferensi pers soal penetapan tarif UKT di PTN dilansir Tribun-medan.com dari Breaking News Kompas TV, Jumat (17/5/2024).

"Karena apa? Untuk menggaet atau memfasilitasi pada mahasiswa-mahasiswa dari keluarga yang mampu.

Kalau kemudian ini demo, yang terjadi apa, ya kita pasti aware (tahu)." lanjutnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini