TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pernyataan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim tentang Uang Kuliah Tunggal (UKT) mendapat protes mahasiswa.
Pembenahan alokasi anggaran pendidikan 20 persen dari APBN sebagai mandatory spending pun dinilai mendesak.
“Kami menilai wajar jika mahasiswa masih belum puas dengan pernyataan dari Mas Menteri terkait polemik UKT karena terbatasnya ruang fiskal yang dimiliki Kemendikbud Ristek. Maka dalam hemat kami perlu ada pembenahan distribusi mandatory spending anggaran pendidikan 20% dari APBN dalam RAPBN mendatang,” ujar Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda, Jumat (24/5/2024).
Polemik besarnya UKT di perguruan tinggi negeri (PTN) memang terus berlanjut.
Baca juga: Saat Prabowo Blak-blakan soal Kenaikan UKT, Jadikan Jokowi Penasihat hingga Nasib Presidential Club
Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Diponegoro dan Universitas Jenderal Soedirman misalnya menilai sejumlah pernyataan Nadiem Makarim terkait kisruh UKT saat rapat kerja dengan Komisi X DPR RI tidak mencerminkan fakta di lapangan.
Di antaranya bahwa tidak ada mahasiwa yang gagal kuliah akibat tidak mampu membayar UKT dan tidak ada dampak kenaikan UKT bagi masyarakat menengah ke bawah.
Presiden terpilih Prabowo Subianto juga ikut bicara terkait UKT di mana menurutnya uang kuliah di PTN harus semurah-murahnya.
Huda mengatakan distribusi anggaran pendidikan dari APBN sebagai mandatory spending terlalu luas persebarannya sehingga menyulitkan proses pengawasan.
Kondisi ini memicu rendahnya efektifitas anggaran pendidikan 20% dari APBN dalam memberikan layanan pendidikan yang murah dan berkualitas bagi masyarakat dari semua kalangan.
“Anggaran pendidikan 20% dari APBN digunakan untuk tiga komponen belanja yakni belanja pemerintah pusat, untuk transfer ke daerah dan dana desa, serta pembiayaan anggaran. Ada belasan kalau tidak puluhan kementerian, lembaga, atau entitas yang mendapatkan jatah anggaran pendidikan ini,” ujarnya.
Ironisnya, lanjut Huda Kemendikbud Ristek sebagai tuan rumah layanan pendidikan misalnya hanya mendapatkan 15% dari Rp665 triliun anggaran pendidikan yang diterima dari APBN atau sekitar Rp98,9 triliun.
Padahal Kemendikbud Ristek ini harus mengurus pendidikan dari PAUD hingga perguruan tinggi negeri.
Bahkan anggaran untuk Kemendikbud Ristek ini masih kalah dari anggaran untuk Kementerian Keuangan yang menerima sekitar 19% dari Rp665 triliun atau sekitar Rp124 triliun.
“Situasi ini pasti memberikan kontribusi pada kenaikan UKT di berbagai perguruan tinggi negeri yang menjadi domain pengelolaan dari Kemendikbud Ristek. Jadi ini harus diperbaiki,” katanya.
Dari sisi perencanaan pengelolaan anggaran pendidikan, kata Huda Kemendikbud Ristek juga tidak terlalu berperan.
Sebagai tuan rumah layanan pendidikan peran Kemendikbud masih kalah dengan Kemenkeu dan Bapenas.
“Kami berharap bahwa PP nomor 18/2022 tentang Pendanaan Pendidikan bisa diimplementasikan sehingga Kemendikbud Ristek bisa lebih berperan dalam proses perencanaan dan penanggaran layanan pendidikan,” katanya.
Politikus PKB ini menegaskan dalam jangka pendek harus ada evaluasi besaran kenaikan UKT di berbagai PTN termasuk pencabutan Permendikbud Nomor 2/2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT) pada Perguruan Tinggi Negeri.
Dalam jangka menengah dibutuhkan perbaikan distribusi dan rencana pengelolaan anggaran pendidikan 20% dari APBN.
“Di sinilah urgensi kerja dari Panja Pembiayaan Pendidikan DPR dalam beberapa bulan kedepan. Kami ingin semua stake holder pendidikan bersama mengawal dan mendukung kinerja Panja ini agar bisa memberikan rekomendasi solid atas perbaikan alokasi anggaran pendidikan 20% dari APBN,” pungkasnya.