Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sebanyak tiga orang hakim yang mengubah syarat batas minimal usia calon kepala daerah melalui putusan nomor 23 P/HUM/2024 dilaporkan ke Komisi Yudisial pada Senin (3/6/2024).
Tiga hakim tersebut yakni Hakim Agung Yulius, Hakim Agung Cerah Bangun, dan Hakim Agung Yodi Martono Wahyunadi.
Baca juga: Pakar Hukum Nilai Putusan MA Soal Batas Usia Calon Kepala Daerah Tak Bermasalah, Asalkan . . .
Ketiganya dilaporkan oleh Gerakan Sadar Demokrasi dan Konstitusi (Gradasi) karena diduga melakukan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim dalam proses pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada).
Direktur Gradasi Abdul Hakim menilai ketiga hakim tersebut melanggar asas ketidakberpihakan, kenetralan, serta sikap tanpa bias dan prasangka dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara atau imparsialitas.
Menurutnya, hal tersebut di antaranya tercermin dari cepatnya proses permohonan pengujian Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota terhadap UU Pilkada yang dilakukan Partai Garuda tersebut diputus oleh ketiga hakim.
Baca juga: Kata KPU Jakarta soal Isu Kaesang Maju Pilkada Imbas MA Hapus Batas Usia Minimal Cagub
Ia menduga proses pengujian undang-undang hingga putusan yang dikeluarkan hanya dalam tiga hari tersebut diprioritaskan menginga berdasarkan catatannya setidaknya MA membutuhkan waktu dalam hitungan bulan untuk memutus perkara pengujian undang-undang.
Selain itu, proses pengujian dan putusan tersebut juga janggal karena dilakukan menjelang penyelenggaraan Pilkada Serentak 2024.
Dengan demikian, ia menduga putusan tersebut sarat muatan politis.
"Diduga kuat melanggar (kode etik dan pedoman perilaku hakim). Karena apa? Kenapa ini diprioritaskan?" kata dia di kantor Komisi Yudisial Jakarta pada Senin (3/6/2024).
"Artinya kalau diprioritaskan untuk seseorang, ada asas yang dilanggar, (yakni)asas imparsialitas. Seharusnya tidak terjadi. Harusnya hakim tidak ada keberpihakan," sambung dia.
Untuk itu, ia berharap KY untuk memanggil, memeriksa, dan melakukan investigasi.
Hal tersebut, kata dia, di antaranya karena sifat pengujian undang-undang di MA yang tertutup.
"Kami tidak tahu ada apa di dalamnya sehingga kami datang ke sini untuk meminta kepada KY untuk memanggil ketiga hakim ini untuk didalami," kata dia.
Ia menduga hal tersebut sarat muatan politis mengingat desas-desus yang beredar bahwa putusan tersebut untuk memuluskan jalan putra Presiden Joko Widodo Kaesang Pangarep untuk ikut dalam kontestasi Pilkada Serentak 2024.
Namun, ia mengatakan fokus pada proses peradilan dalam putusan tersebut.
"Bisa jadi ada. Kami tidak fokus pada politiknya, tapi fokus pada proses pengadilan ini, putusan ini. Siapa yang diuntungkan, teman-teman bisa cari sendiri nanti. Pasti ada yang diuntungkan dari putusan ini," kata dia.
Koordinator Gradasi Zainul Arifin mengatakan pentinf bagi KY untuk menggunakan kewenangannya dalam memanggil dan memeriksa para hakim tersebut.
Ia juga meminta agar KY memberikan sanksi bagi ketiga hakim tersebut.
"Ya yang paling kita mau ya pencopotan, kalau itu memang jelas terbukti ya. Tapi paling tidak ada ketegasan KY untuk mengklarifikasi dan memanggil pihak itu. Dan kalaupun dikonfrontir, kami siap," kata dia.
Baca juga: Kritik Keras Ray Rangkuti Soal Putusan MA, Batas Usia Calon Kepala Daerah Dihitung saat Pelantikan
Dinilai Janggal
Putusan Mahkamah Agung (MA) terkait aturan syarat batas minimal usia calon kepala daerah nomor 23 P/HUM/2024 pada 29 Mei 2024 lalu menuai polemik.
Sejumlah pihak mengkritik putusan tersebut karena dinilai sarat muatan politis untuk memuluskan jalan putra Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, ikut berkontestasi dalam Pilkada Serentak 2024.
Namun, ada juga pihak lain yang melihat putusan tersebut justru mendorong regenerasi kepemimpinan.
Pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari, memandang proses pengujian undang-undang (judicial review/JR) yang menghasilkan putusan tersebut janggal.
Ia heran mengapa MA menyatakan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada).
Padahal menurutnya, UU Pilkada dan PKPU Nomor 9 tahun 2020 tidak bertentangan.
Berikut bunyi ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada yang mengatur soal itu:
Berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur serta 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota;
Sementara itu, berikut bunyi ketentuan pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU nomor 9 tahun 2020 yang dimaksud:
Berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon
Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak penetapan Pasangan Calon;
Dengan demikian, kata dia, PKPU tersebut tidaklah bertentangan dengan UU Pilkada.
"Di sini janggalnya. Apakah kemudian Mahkamah Agung membaca UU Pilkada nomor 10 tahun 2016 yang kemudian dengan terang benderang menjabarkan batas usia calon gubernur dan calon wakil gubernur dan yang lainnya itu?" kata Feri ketika dikonfirmasi pada Jumat (31/5/2024).
"Di sini timbul tanda tanya besar. Bukankah yang diuji adalah kesesuaian PKPU terhadap Undang-Undang Pilkada 10/2016? Kalau Undang-Undangnya mengatakan bahwa batas usianya 30 dan 25, ya (berarti) PKPU sudah benar. Lalu pertanyaan, atas dasar apa PKPU itu dibatalkan kalaulah tidak berdasarkan UU?" tanya Feri heran.
Menurutnya, ketentuan tersebut sama dengan yang berlaku dalam proses JR di Mahkamah Konstitusi (MK).
Ia mengatakan dalam proses JR di MK, apabila UU sudah mengatur secara eksplisit, maka tidak ada alasan lain untuk MK menafsir ulang isi teks yang sudah ada dalam UUD.
"Jadi memang sangat sangat janggal perkara pengujian PKPU nomor 23/PHUM/2024 ini yang dilakukan oleh MA? Siapa yang hendak disasar agar kemudian dengan pembatalan ini seseorang dapat diuntungkan?" tanya dia.
"Desas-desusnya adalah Kaesang yang belum berusia 30 dan perlu kemudian mendapatkan kesempatan untuk maju dalam kontestasi Pilkada di kemudian hari," sambung dia.
Menurutnya, tindakan-tindakan demikian akan menjadi problematika serius dalam kehidupan berbangsa dan bernegara apabila seluruh aturan mengenai praktik bernegara didasarkan kepada kesukaan terhadap sesuatu atau tidak.
Menurutnya, tidak mungkin sebuah peraturan diatur sedemikian rupa hanya sekadar untuk membuka pintu bagi kepentingan orang-orang lain.
"Saya juga awalnya berpikir ya nggak boleh kan. Jadi kalau kita berpikir seperti bahwa tidak mungkin UUD dipermainkan, aturan main dirusak, faktanya kita sudah bertemu di pemilu presiden (Pilpres 2024) kemarin," kata dia.
"Betapa upaya merusak cakrawala berpikir publik penghormatan kepada konstitusi dihancurleburkan," sambung dia.
Baca juga: Putusan MA Dinilai Beri Karpet Merah Kaesang Maju di Pilkada, Begini Respons PAN
Hanya Butuh 3 Hari
Diberitakan sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) hanya membutuhkan waktu tiga hari untuk memutus perkara yang diajukan Partai Garuda terkait aturan syarat batas minimal usia calon kepala daerah.
Waktu itu terhitung sejak perkara nomor 23 P/HUM/2024 diproses tanggal 27 Mei dan diputus pada tanggal 29 Mei 2024.
Dalam putusan itu, MA mengabulkan permohonan Hak Uji Materi (HUM) yang dimohonkan Ketua Umum Partai Garda Perubahan Indonesia (Garuda) Ahmad Ridha Sabana.
Juru bicara MA Suharto menjelaskan alasan mengapa perkara itu ditangani dalam waktu yang terhitung cepat.
Ia menyampaikan, cepatnya proses penanganan perkara dilakukan sebagaimana asas lembaga peradilan yang ideal.
“Sesuai asas yang ideal itu yang cepat karena asasnya pengadilan dilaksanakan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan. Jadi cepat itu yang ideal,” kata Suharto, Kamis (30/5/2024).
Putusan itu diperiksa dan diadili Ketua Majelis yang dipimpin Hakim Agung Yulius Hakim Agung Cerah Bangun dan Hakim Agung Yodi Martono Wahyunadi sebagai anggota Majelis.
Dalam pertimbangan hukumnya, MA menilai Pasal 4 Ayat (1) huruf d Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Pasal 4 Ayat (1) huruf d PKPU berbunyi "Berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak penetapan Pasangan Calon;"
Baca juga: Refly Harun Labeli Putusan MA Sontoloyo, Sebut KPU Bisa Abaikan
MA menilai Pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai:
"Berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk calon gubernur dan wakil gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk calon bupati dan wakil bupati atau calon wali kota dan wakil wali kota terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih".
MA memerintahkan KPU RI untuk mencabut Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU Nomor 9 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota itu.
Dengan adanya putusan tersebut, seseorang dapat mencalonkan diri sebagai calon gubernur dan wakil gubernur jika berusia minimal 30 tahun dan calon bupati dan wakil bupati atau calon wali kota dan wakil walikota jika berusia minimal 25 tahun terhitung saat dilantik sebagai kepala daerah defintif.