TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketiadaan informasi cuti presiden saat kampanye dipersoalkan oleh seorang Advokat bernama Mohamad Ansyariyanto Taliki.
Advokat tersebut mengajukan pengujian Pasal 299 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Baca juga: MK Terima Pencabutan Laporan Seorang Advokat yang Gugat Cuti Presiden
Sidang Perkara Nomor 37/PUU-XXII/2024 tersebut telah digelar pada Senin (18/3/2024) di Ruang Sidang Panel MK dengan dipimpin oleh Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh.
Adapun pasal 299 ayat (1) UU Pemilu menyatakan, “Presiden dan Wakil Presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye”.
Pemohon menilai Pasal 299 ayat (1) UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 6A ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Baca juga: 2 Mahasiswa Minta MK Larang Presiden dan Menteri Ikut Kampanye di Pilkada
Menurut Pemohon, aturan yang mengatur masa kampanye Presiden dan Wakil Presiden ini dapat saja dilakukan tanpa mengajukan cuti, bahkan tidak terdapat informasi atau pengumuman masa cuti yang demikian tersebut di media nasional.
Sehingga, masih melekat padanya status Presiden/Wakil Presiden saat berkampanye untuk pemilihan periode berikutnya. Oleh karena itu, Pemohon menilai perlu bagi Presiden/Wakil Presiden untuk melakukan hal tersebut demi tercapainya prinsip keterbukaan informasi publik.
“Dengan demikian Pemohon memohon kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal 299 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, Presiden dan Wakil Presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye dengan proses cuti yang diumumkan di publik dalam stasiun televisi nasional,” ucap Ansyariyanto.
Namun belakangan pemohon mencabut laporannya dengan alasan agenda sidang yang bertabrakan.
“Alasannya karena masih ada sidang di Makassar sehingga agendanya bertabrakan. Jadi, yang di MK dicabut. Suratnya akan dikirim menyusul karena masih ada persidangan di pengadilan (lain) di Makassar,” kata Ansyariyanto terkait alasan pencabutan permohonan kepada Majelis Sidang Panel MK.
Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengatakan, para Pemohon dapat menambahkan studi perbandingan dengan negara lain terkait isu yang dipersoalkan.
"Supaya bisa membuka cakrawala kalau di negara lain itu bagaimana," kata Arief, saat memberikan nasihat dalam persidangan.
Tak hanya itu, Arief juga menuturkan, pendapat para Pemohon senada dengan pendapatnya terhadap hal yang dipersoalkan dalam perkara ini dan menyarankan para Pemohon untuk membaca dan memahami dissenting opinion atau pendapat berbeda dalam Putusan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Presiden 2024.
"Jadi di Indonesia itu tidak hanya sekadar menganut rule of law tapi (juga) rule of etic. Karena di balik rule of law harus ada rule of etic. Artinya, secara etika atau moral enggak pantas dong kepala negara atau Presiden ikut kampanye untuk mendukung salah satu calon," ucap Arief kepada para Pemohon.
Baca juga: MK Terima Pencabutan Laporan Seorang Advokat yang Gugat Cuti Presiden