Pembangunan dasar yang belum selesai dijadikan dasar untuk menyerang ketidakberesan pembangunan IKN.
"Minimnya investor yang mau beinvestasi juga menjadi isu negatif terkait IKN. Hal itu membuat pesimis sebagian anak bangsa akan keberlanjutan pembangunan IKN," ungkapnya.
Jamil menilai kehadiran influencer diharapkan dapat mengcounter semua isu negatif tersebut.
Untuk itu, Jokowi tampaknya sengaja melibatkan influencer dalam meresmikan jembatan.
Bahkan Jokowi bersama influencer menaiki motor untuk menggambarkan kelayakan IKN.
"Para influencer itu tentu akan mengemas informasi peresmian itu menjadi beragam counter. Substansi isinya, meskipun akan dikemas beragam format penyajian, tentu ingin menyampaikan semua pembangunan di IKN berjalan lancar."
"Pesan-pesan itu tentu untuk mengcounter tidak benar pembangunan di IKN mengalami banyak kendala," jelas dia.
Dia mengatakan bahwa pesan-pesan sukses pembangunan di IKN yang dikemas influencer itu diharapkan juga akan memengaruhi investor mau berinvestasi di IKN.
"Kalau ini juga yang menjadi tujuan menghadirkan influencer, tentu relatif keliru. Sebab, investor kelas kakap tentu tidak mengkonsumsi medsos yang kerap digunakan influencer untuk menyampaikan kontennya. Bahkan investor juga tidak menjadi pengikut influencer tersebut," ucap dia.
Padahal, kata Jamil, semua mengetahui pesan akan berpeluang menimbulkan efek tertentu minimal pesannya sampai kepada khalayak sasaran. Karena itu, tentu sulit konten yang dikemas influencer dapat mempengaruhi investor untuk berinvestasi.
"Jadi, kalau kehadiran influencer diharapkan dapat menggugah para inveator, tentu hal itu tindakan yang keliru. Ini artinya, melibatkan influencer dalam kegiatan Jokowi berkantor tiga hari di IKN sangat tidak efisien dan tidak efektif," ucap dia.
Kemudian, kehadiran influencer diharapkan dapat mengemas konten agar masyarakat Indonesia mendukung IKN.
Hal itu perlu dilakukan karena dukungan masyarakat terhadap pembangunan IKN selama ini relatif rendah.
"Hal itu terjadi karena penetapan IKN dilakukan dengan pendekatan top down, bukan bottom up sebagaimana layaknya di negara demokrasi. Ini artinya, ibu kota negara dipindahkan semata keputusan elite politik, khususnya Presiden Joko Widodo. Bahkan Jokowi yang menetapkan tempat ibu kota yang baru," jelas dia.