Gapero Berharap Pemerintah Bisa Memitigasi Dampak Aturan Tembakau di PP Kesehatan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Klausul terkait produk tembakau dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dinilai seolah memandang tembakau sebagai barang terlarang.
Ketua Gabungan Pengusaha Rokok (Gapero) Surabaya, Sulami Bahar menuturkan, klausul dalam PP Kesehatan ini antara lain larangan bahan tambahan, batasan tar dan nikotin di setiap batang rokok, larangan menjual eceran atau batangan, larangan menjual di radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak, larangan menjual produk tembakau kepada orang yang berusia di bawah 21 tahun, besaran gambar peringatan kesehatan di kemasan 50 persen, dan waktu iklan di media penyiaran diatur pukul 22.00-05.00.
"Hal ini seolah membuat tembakau sebagai barang terlarang. Kendati demikian, kami akan mematuhi mandat dalam PP 28/2024 untuk dijalankan dengan baik," kata Sulami kepada wartawan, Sabtu (3/8/2024).
Berdasarkan data yang dimiliki Gapero Surabaya, saat ini jumlah industri hasil tembakau (IHT) legal di Jawa Timur mencapai 538 industri, dengan jumlah buruh sekitar 186 ribu tenaga kerja.
Jumlah tenaga kerja tersebut mencapai 60 persen terhadap nasional yang mencapai sekitar 360 ribu tenaga kerja. Adapun jumlah produksi rokok saat ini secara nasional sebesar 364 miliar batang per tahun.
Menurut Sulami, jika jumlah tersebut terus menurun, dipastikan akan terjadi gulung tikar. Terlebih banyak regulasi yang mengetatkan sektor ini.
"Mengingat IHT legal nasional saat ini padat aturan (fully regulated), mulai dari Undang Undang sampai Peraturan Daerah, belum lagi kebijakan cukai yang restriktif. Ditambah terbitnya PP 28/2024 akan semakin memberatkan kelangsungan usaha industri pertembakauan nasional," jelas dia.
Di sisi lain, Sulami menyinggung aturan tembakau di PP Kesehatan berpotensi semakin meningkatkan peredaran rokok ilegal.
Rokok ilegal diketahui menjadi penyebab kerugian pendapatan negara sekaligus penghambat berkembangnya industri rokok nasional.
Ia kemudian mengutip data Ditjen Bea dan Cukai Kemenkeu, bahwa tingkat peredaran rokok ilegal tahun 2023 mengalami peningkatan menjadi 6,86 persen. Angka itu menunjukkan ada potensi penerimaan negara yang tidak terselamatkan senilai Rp15,01 triliun.
"Harga rokok terus melambung dari tahun ke tahun seiring tarif cukai yang meningkat, sehingga konsumen beralih ke rokok murah atau rokok ilegal," kata Sulami.
Dalam hal ini, pemerintah diharapkan berperan untuk mengedukasi masyarakat dan mengawasi pertumbuhan perokok pemula sehingga mampu memitigasi optimal, dan turunnya prevalensi perokok bisa terjadi.
Sulami juga berharap, pemerintah tidak hanya sebatas membuat aturan yang menyudutkan industri hasil tembakau legal.
Pasalnya, selama ini IHT legal disebut telah patuh terhadap aturan pemerintah untuk menurunkan prevalensi merokok anak, tetapi tentu IHT juga tidak bisa ikut mengawasi semuanya. Maka, peran aktif pemerintah dibutuhkan.
"Kami berharap terbitnya PP 28/2024 dibarengi dengan regulasi turunan yang tetap memperhatikan keberlangsungan Industri Hasil Tembakau legal, serta keseriusan pemerintah dalam memitigasi dampak dari peraturan ini," kata Sulami.