TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekonom INDEF Drajad Wibowo mengingatkan pentingnya audit keuangan guna mengungkap dugaan kasus demurrage atau biaya denda impor yang berpotensi merugikan keuangan negara.
Audit keuangan diperlukan mengingat nilai demurrage, akibat adanya peti kemas yang tertahan di pelabuhan, cukup tinggi untuk pengadaan impor beras.
"Yang menjadi masalah adalah ketika demurrage-nya terlalu tinggi atau mahal dalam situasi normal. Sebaiknya BPK, BPKP atau auditor investigator independen ditugaskan melakukan pemeriksaan audit," ujarnya, Sabtu (10/8/2024).
Ia memastikan audit keuangan itu nantinya bisa menjadi bukti permulaan atau sebagai pintu masuk bagi penegak hukum untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut.
"Demikian akan diketahui demurrage-nya wajar atau di luar kewajaran. Jika memang nanti dari pemeriksaan audit ditemukan bukti permulaan yang kuat, baru aparat hukum masuk," ujarnya.
Ia menduga kasus biaya denda impor ini terjadi karena adanya pelanggaran tata kelola dalam pengadaan impor beras, yang bisa disebabkan karena kompetensi SDM yang rendah atau ada perilaku korupsi.
"Faktor manusianya bisa karena kompetensi yang rendah, tapi bisa juga karena KKN. Efek selanjutnya adalah ekonomi biaya tinggi. Dalam kasus beras akhir-akhir ini, beras menjadi terlalu mahal bagi konsumen," katanya.
Sebelumnya, Studi Demokrasi Rakyat (SDR) melaporkan Perum Bulog dan Bapanas kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu (3/7/2024), atas dugaan penggelembungan harga beras impor dari Vietnam serta kerugian negara akibat demurrage di Pelabuhan.
Meski demikian, belum ada perkembangan lanjutan terkait penanganan kasus tersebut, karena penyelidikan yang dilakukan oleh KPK masih bersifat rahasia.
Terkini, Kementerian Perindustrian mencatat adanya sekitar 26.425 peti kemas yang masih tertahan di Pelabuhan Tanjung Priok dan Tanjung Perak.
Dari peti kemas tersebut, sebanyak 1.600 diantaranya diduga merupakan beras impor.
Penjelasan Bulog
Sebelumnya, Direktur Utama Perum Bulog Bayu Krisnamurthi sudah pernah menjelaskan terkait demurrage dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IV DPR, pada Kamis, 20 Juni 2024 lalu.
Dalam kondisi tertentu, demurrage atau keterlambatan bongkar muat adalah hal yang tidak bisa dihindarkan sebagai bagian dari resiko penanganan komoditas impor.
Jadi misalnya dijadwalkan 5 hari, menjadi 7 hari. Mungkin karena hujan, arus pelabuhan penuh, buruhnya tidak ada karena hari libur dan sebagainya.
"Dalam mitigasi risiko importasi, Demurrage itu biaya yang sudah harus diperhitungkan dalam kegiatan ekspor impor. Adanya biaya demurrage menjadi bagian konsekuensi logis dari kegiatan ekspor impor. Kami selalu berusaha meminimumkan biaya demurrage dan itu sepenuhnya menjadi bagian dari biaya yang masuk dalam perhitungan pembiayaan perusahaan pengimpor atau pengekspor,” ucap Bayu Krisnamurthi.
Saat ini, Bulog masih memperhitungkan total biaya demurrage yang harus dibayarkan, termasuk dengan melakukan negosiasi ke pihak Pelindo, pertanggungan pihak asuransi serta pihak jalur pengiriman.
Menurut Bayu, perkiraan demurrage yang akan dibayarkan dibandingkan dengan nilai produk yang diimpor tidak lebih dari 3 persen.
Dalam kesempatan terpisah, Tito Pranolo, Pakar Pangan Indonesia menyatakan sebenarnya tidak lengkap membahas demurrage tanpa membahas despatch juga.
"Despatch adalah bonus yang diberikan karena bongkar barang terjadi lebih cepat, tentunya keduanya pernah dialami oleh Perum Bulog sebagai operator pelaksana penerima mandat impor beras dari pemerintah dan selama ini Perum Bulog tidak pernah membebani masyarakat karenanya," kata dia.