TRIBUNNEWS.COM - SETARA Institute menyoroti kilatnya DPR RI melakukan revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada) guna menganulir putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Peneliti Hukum dan Konstitusi SETARA Institute, Azeem Marhendra Amedi menilai persetujuan Badan Legislasi (Baleg) DPR RI atas revisi UU Pilkada merupakan bentuk vetokrasi sebagian elit politik yang terlanjur nafsu menguasai seluruh ruang-ruang politik kontestasi Pilkada Serentak 2024.
"Vetokrasi dalam konteks revisi UU Pilkada berbentuk kesepakatan elit yang memveto aspirasi publik dan kepemimpinan interpretasi konstitusi, yang sebelumnya oleh MK melalui Putusan 60/PUU-XXII/2024 berupaya menyelamatkan demokrasi dari hegemoni dan tirani mayoritas," ungkapnya kepada Tribunnews, Rabu (21/8/2024).
Ia menilai, apa yang dilakukan DPR RI bukan tidak membangkangi putusan MK.
"Revisi 7 jam atas UU Pilkada juga mengandung cacat materiil dan formil, karena rumusan syarat pencalonan ditafsir sesuai selera para vetokrat untuk kepentingan menguasai semua jalur dan saluran kandidasi Pilkada," katanya.
Azeem mengungkapkan, penetapan syarat bervariasi yang telah ditetapkan MK, ditafsir oleh DPR sebagai tidak berlaku bagi partai yang memperoleh kursi di DPRD.
"Akal-akalan tafsir juga diberlakukan terkait tafsir konstitusional genapnya usia 30 tahun bagi seorang calon gubernur/wakil gubernur, yang dihitung sejak pencalonan," ujarnya.
Putusan MK itu, lanjutnya, harus berlaku apa adanya ketika sudah dinyatakan berkekuatan hukum tetap, final, mengikat dan self executing.
"Kedudukan berlakunya Putusan MK adalah selayaknya berlakunya UU. Bentuk ketidakpatuhan DPR terhadap Putusan MK tersebut juga merupakan suatu pelanggaran hukum, yang selain menabrak tatanan konstitusional juga telah merobohkan prinsip checks and balances," sambungnya.
"Peragaan kehidupan demokrasi yang semakin rapuh, revisi kilat UU Pilkada untuk kepentingan elit dan pembangkangan putusan Mahkamah Konstitusi telah menjadi bukti tidak adanya kepemimpinan dalam interpretasi konstitusi (constitutional leadership) meski Indonesia memiliki Mahkamah Konstitusi," tekannya.
Ia menegaskan, tidak ada badan lain yang paling berwenang dalam menafsir konstitusi kecuali Mahkamah Konstitusi yang memegang judicial supremacy dalam menegakkan supremasi konstitusi.
Baca juga: Kebut Revisi UU Pilkada, DPR Berpotensi Melanggar Pancasila dan UU-nya Cacat Sejak Terbitkan
"Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi tidak lagi memegang supremasi judisial dalam menafsir konstitusi, karena pada akhirnya kehendak para vetokrat telah memenangkan kehendak segelintir elit yang tidak berpusat pada kepentingan rakyat," ujarnya.
"Tanpa kepemimpinan konstitusi, sistem ketatanegaraan Indonesia akan semakin rapuh dan semakin menjauh dari mandat respublika, karena rakyat dan aspirasi rakyat bukan lagi menjadi sentrum perumusan legislasi dan kebijakan publik," pungkasnya.
Diketahui, pihak DPR mendadak ingin revisi UU Pilkada sehari setelah MK mengeluarkan putusan perkara Nomor 60.
Putusan itu menyatakan, partai politik (paprol) atau gabungan parpol peserta Pemilu dapat mendaftarkan pasangan calon kepala daerah (cakada) meski tidak memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau DPRD.
Putusan itu membuat sejumlah partai non-set DPRD bisa mengusung calon kepala daerah pada Pilkada 2024, termassuk PDIP yang nyaris tidak bisa mengusung calonnya pada Pilkada Jakarta 2024 usai sebagian besar parpol pemilik kuris di DPRD bergabung dan mengusung Ridwan Kamil-Suswono sebagai calon gubernur dan wakil gubernur Jakarta.
Dalam perkara uji materiil terpisah, MK juga dalam putusannya menyampaikan pertimbangan soal syarat usia pencalonan kepala daerah minimal 30 tahun dihitung sejak penetapan yang bersangkutan sebagai calon kepala daerah oleh KPU.
Pertimbangan putusan MK itu membuat putra bungsu Presiden Jokowi sekaligus Ketua Umum Partai Solidaritas Indoesia (PSI), Kaesang Pangarep, berpotensi gagal untuk diusung sebagai calon kepala daerah pada Pilkada Serentak 2024.
(Tribunnews.com)