News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Dari Kekerasan hingga Kesenjangan Upah, Tantangan Bagi Kaum Perempuan di Dunia Pendidikan Indonesia

Penulis: Hasiolan Eko P Gultom
Editor: Wahyu Aji
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Najelaa Shihab, pemerhati pendidikan (dua dari kiri) menyampaikan gagasannya dalam imbingan teknis kolaborasi antara Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kemendikbudristek RI dan DPP Pengajian Al-Hidayah bertema Perempuan Penggerak Perubahan: Inspirasi, Inovasi, dan Kolaborasi dalam Dunia Pendidikan, 22 Agustus 2024 di Hotel Sultan, Jakarta.

Hasiolan EP/Tribunnews.com

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Apa yang menjadi permasalahan bagi kaum perempuan dalam dunia pendidikan Indonesia masa kini?

Hetifah Sjaifudian, Wakil Ketua Komisi X DPR RI, mengungkapkan tantangan perempuan saat ini adalah adanya '3 dosa besar' pendidikan (kekerasan, intoleransi, bullying), budaya pola pikir tradisional, hambatan perempuan untuk menempati posisi puncak, hingga kesenjangan upah.

Hal tersebut dia ungkapkan pada bimbingan teknis kolaborasi antara Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kemendikbudristek RI dan DPP Pengajian Al-Hidayah bertema “Perempuan Penggerak Perubahan: Inspirasi, Inovasi, dan Kolaborasi dalam Dunia Pendidikan”.

Bimbingan teknis ini dilaksanakan selama dua hari 21-22 Agustus 2024 di Hotel Sultan, Jakarta.

“Hal ini dibuktikan dengan Indeks ketimpangan Gender Indonesia yang berada di peringkat 110 dari 170 negara (data UNDP tahun 2023). Meskipun angka partisipasi perempuan lebih tinggi namun, serapan kerja perempuan lebih rendah dari laki-laki. Hal ini dicontohkan dengan tingginya mahasiswa di bidang STEM namun ketika memasuki dunia kerja, 50 persen perempuan kurang tertarik di bidang STEM karena kuatnya sentiment dominasi laki-laki," ungkap Hetifah.

Najelaa Shihab, pemerhati pendidikan menyoroti bahwa kurangnya guru laki-laki di kelas rendah dan lebih banyak guru perempuan.

Hal ini dapat menyebabkan pengajaran di kelas yang lebih feminism.

Namun, Najelaa mengapresiasi Kemendikbudristek yang telah memperbaiki buku-buku pelajaran di sekolah yang lebih sensitif gender.

“Saat ini kita sudah tidak bicara lagi APM, kita harus naik level, bagaimana pemenuhan hak agar lebih setara, bagaimana perempuan dapat berdaya tanpa mengorbankan peran lainnya,” terang Najeela.

Fasli Jalal, Rektor Universitas Yarsi, menyarankan perlunya evaluasi terhadap kebijakan berkeadilan gender; penyediaan data terpilah untuk mendukung kebijakan gender dan kebijakan berkeadilan gender; dan mendukung perubahan di tingkat sekolah dalam bentuk kebijakan, fasilitas, dan praktek pembelajaran di ruang kelas agar lebih gender-responsif, aman, dan mendukung lingkungan pembelajaran.

Acara ini dihadiri oleh lebih dari 100 orang perwakilan ibu-ibu pengajian Al-Hidayah dari seluruh Indonesia.

Dalam pembukaannya, Anindito Aditomo, Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek RI menyampaikan bahwa Angka Partisipasi Perempuan di bidang pendidikan lebih tinggi dari laki-laki.

Saat ini, di Kurikulum Merdeka, sudah ada indikator kurikulum, apakah guru memiliki kesadaran akan kesetaraan gender.

Baca juga: Terapkan Kebijakan Inklusif & Kesetaraan Gender, Wanita Punya Kesempatan Berkarya di Sektor Tambang

Jika guru-guru memiliki pemahaman ini, maka skor penilaian guru akan meningkat.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini