“Orang tang tadinya rendah hati, melayani, itu bisa berubah menjadi menuntut orang lain melayani dia,” ujar Ramlan Surbakti.
Pakar Hukum Bivitri Susanti bahkan menyebut implikasi dari penyalahgunaan kekuasaan tersebut dapat mengakibatkan perilaku nepotisme yang melahirkan kolusi dan berujung pada praktik-praktik korupsi yang masif sehingga menyebabkan dominasi terhadap kekayaan negara dan penghalalan segala cara demi mempertahankan kekuasaan.
Bentuk penyalahgunaan yang lebih serius adalah manipulasi terhadap sistem hukum baik pada tatanan legislasi hingga proses law enforcement (penegakan hukum).
Pada titik ini, substansi hukum yang seharusnya menjunjung etika moralitas, justru dijauhkan dari nilai-nilai etika.
“Ada persoalan besar bahwa hukum dituhankan dan dianggap lebih tinggi dari etik, ini jelas terbalik,” ujar Bivitri Susanti.
Begitu pula dengan proses legislasi yang seharusnya melibatkan partisipasi publik justru dilakukan secara tertutup dan tanpa transparansi.
“Etika harusnya jadi kompas moral dari penyelengara negara untuk menjaga integritas dan kepercayaan rakyat. Mereka juga harus teguh dalam perilaku etis, sekarang dipamerkan cara pengambilan keputusan yang tidak etis,” tambah Harkristuti Harkrisnowo, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Selain itu, proses legislasi juga dilakukan tanpa adanya naskah akademis yang kritis dan mendalam hingga terdapat istilah DPR lebih berfungsi sebagai dewan perwakilan rezim bukan dewan perwakilan rakyat.
Belum lagi dengan independensi lembaga peradilan yang juga ikut terdegradasi.
Pada akhirnya hukum tidak lagi mampu melindungi hak-hak asasi manusia dan kepentingan publik secara adil, tetapi justru dimanfaatkan untuk memperkuat kekuasaan politik.
"Hal ini berujung juga pada kualitas demokrasi yang semakin tergerus," kata Harkristuti.
Rekomendasi BPIP
Berdasarkan FGD tersebut, BPIP memberikan rekomendasi mengatasi problematika etika penyelenggara negara sebagai berikut:
1. Sistem Hukum: