BSSN, lanjut dia, berfokus pada perlindungan dan mitigasi ancaman siber secara umum yang melibatkan beragam aktor lintas sektor.
Namun, menurutnya pembentukan TNI Angkatan Siber dipandang sebagai langkah spesifik dalam ranah pertahanan yang lebih ofensif dan defensif di bawah kontrol langsung TNI.
"Jika diwujudkan, pembentukan TNI Angkatan Siber sebagai matra baru tentu akan menimbulkan konsekuensi anggaran yang tidak sedikit," kata dia.
"Biaya pembangunan infrastruktur, rekrutmen, pelatihan, dan operasional akan membengkak secara signifikan. Namun, dalam konteks pertahanan negara, pengeluaran ini dapat dinilai sebagai investasi yang perlu, seiring meningkatnya kompleksitas ancaman siber yang dihadapi," sambung dia.
Ia mengatakan ancaman siber terhadap sistem pertahanan negara sering kali dikaitkan dengan konsep Peperangan Generasi Kelima (5th Generation Warfare atau 5GW).
Dalam skenario 5GW, kata dia, ancaman yang dihadapi lebih abstrak dan berbasis informasi, dengan fokus pada domain non-fisik seperti dunia maya, psikologis, dan informasi.
Baca juga: Pidato Sidang Tahunan MPR, Bamsoet Paparkan Urgensi Pembentukan Matra Angkatan Siber
Menurutnya ancaman tersebut tidak lagi berwujud fisik semata, tetapi lebih kepada pengendalian dan manipulasi informasi untuk menciptakan kebingungan dan mempengaruhi opini publik serta moral militer.
"Serangan siber dapat melumpuhkan infrastruktur vital militer, sistem komunikasi, dan jaringan komando, serta merusak sistem senjata yang mengandalkan teknologi digital," kata dia.
"Serangan jenis ini jelas bisa mengganggu pertahanan nasional secara signifikan tanpa perlu adanya kontak fisik. Oleh karena itu, pembangunan pertahanan siber yang kuat dan tangguh menjadi sangat krusial," sambung dia.
Di satu sisi, ia menyadari salah satu kekhawatiran utama terkait pembentukan Angkatan Siber adalah potensi dampaknya terhadap hak-hak ruang siber warga negara.
Untuk memastikan bahwa keberadaan matra siber tidak membatasi kebebasan dan hak-hak privasi warga negara, menurut dia penting untuk menetapkan regulasi yang jelas dan komprehensif.
"Kerangka hukum yang melindungi privasi dan hak-hak dasar harus dirancang untuk mengatur batasan kewenangan, pengumpulan data, dan penggunaan informasi, serta menyediakan mekanisme pengawasan independen untuk mencegah penyalahgunaan wewenang," kata dia.
Selain itu, menurutnya transparansi dalam operasi Angkatan Siber juga menjadi hal yang sangat penting.
Prosedur yang jelas dan akuntabel dalam pelaksanaan tugas serta pelaporan kegiatan kepada publik, menurut Fahmi dapat membantu menjaga kepercayaan masyarakat dan mengurangi risiko pelanggaran hak-hak siber.