News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Angkatan Siber TNI yang Bisa Beroperasi Optimal Diramalkan Memakan Waktu Hingga 20 Tahun

Penulis: Gita Irawan
Editor: Muhammad Zulfikar
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi keamanan siber. Wacana pembentukan Angkatan Siber sebagai matra baru di tubuh Tentara Nasional Indonesia (TNI) semakin mencuat ke permukaan.

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wacana pembentukan Angkatan Siber sebagai matra baru di tubuh Tentara Nasional Indonesia (TNI) semakin mencuat ke permukaan.

Terkini, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto mengatakan telah mendapatkan perintah dari Presiden Joko Widodo untuk membentuk matra baru tersebut.

Baca juga: Panglima TNI Ungkap Angkatan Siber Bakal Diisi Banyak ASN dan Masyarakat Sipil Berkeahlian Khusus

Hal itu diungkapkan Agus kepada wartawan usai menghadiri Rapat Kerja dengan Komisi I DPR di Kompleks Parlemen Senayan Jakarta pada Selasa (3/9/2024).

Pemerhati masalah pertahanan dan Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi memperkirakan proses pembentukan Angkatan Siber TNI yang bisa beroperasi secara optimal memakan waktu 15 sampai 20 tahun.

Baca juga: Ancaman Meningkat, Lanskap Keamanan Siber di Indonesia Semakin Kompleks

Menurutnya urgensi pembentukan TNI Angkatan Siber sebagai matra baru perlu dihadapkan pada beberapa pertimbangan realistis. 

Pembentukan matra siber, kata dia, membutuhkan investasi besar dalam infrastruktur yang aman dan modern. 

Tidak hanya itu, lanjut dia, rekrutmen dan pelatihan personel dengan keahlian tinggi di bidang teknologi informasi, kriptografi, intelijen, dan pengembangan perangkat lunak juga menjadi tantangan tersendiri.

Pengembangan doktrin, strategi, dan kerangka hukum untuk operasi siber militer menurutnya juga akan memerlukan waktu yang tidak sebentar.

"Jika memperhitungkan semua faktor di atas, proses menuju matra siber yang sepenuhnya operasional bisa memakan waktu antara 15 hingga 20 tahun," kata Fahmi saat dikonfirmasi Tribunnews.com pada Rabu (4/9/2024).

Akan tetapi, perkiraan tersebut menurutnya bisa lebih singkat bila didukung oleh komitmen kuat dari pemerintah, ketersediaan anggaran yang memadai, dan kebijakan yang jelas. 

Sehingga menurutnya langkah bijak untuk saat ini adalah memperkuat satuan atau lembaga siber yang sudah ada dalam organisasi TNI.

Misalnya Satuan Siber TNI dan unsur-unsur komunikasi dan elektronika (komlek) di setiap matra dan meningkatkan sinergi dengan BSSN serta instansi terkait lainnya.

Sejatinya, kata dia, Indonesia telah memiliki Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) yang bertugas mengoordinasikan kebijakan keamanan siber nasional, baik untuk sektor sipil maupun swasta.

Baca juga: Wacana Angkatan Siber TNI Diangkat Lagi, TB Hasanuddin: Istilahnya Bukan Angkatan, Tapi Lembaga

BSSN, lanjut dia, berfokus pada perlindungan dan mitigasi ancaman siber secara umum yang melibatkan beragam aktor lintas sektor.

Namun, menurutnya pembentukan TNI Angkatan Siber dipandang sebagai langkah spesifik dalam ranah pertahanan yang lebih ofensif dan defensif di bawah kontrol langsung TNI.

"Jika diwujudkan, pembentukan TNI Angkatan Siber sebagai matra baru tentu akan menimbulkan konsekuensi anggaran yang tidak sedikit," kata dia.

"Biaya pembangunan infrastruktur, rekrutmen, pelatihan, dan operasional akan membengkak secara signifikan. Namun, dalam konteks pertahanan negara, pengeluaran ini dapat dinilai sebagai investasi yang perlu, seiring meningkatnya kompleksitas ancaman siber yang dihadapi," sambung dia.

Ia mengatakan ancaman siber terhadap sistem pertahanan negara sering kali dikaitkan dengan konsep Peperangan Generasi Kelima (5th Generation Warfare atau 5GW).

Dalam skenario 5GW, kata dia, ancaman yang dihadapi lebih abstrak dan berbasis informasi, dengan fokus pada domain non-fisik seperti dunia maya, psikologis, dan informasi.

Baca juga: Pidato Sidang Tahunan MPR, Bamsoet Paparkan Urgensi Pembentukan Matra Angkatan Siber

Menurutnya ancaman tersebut tidak lagi berwujud fisik semata, tetapi lebih kepada pengendalian dan manipulasi informasi untuk menciptakan kebingungan dan mempengaruhi opini publik serta moral militer.

"Serangan siber dapat melumpuhkan infrastruktur vital militer, sistem komunikasi, dan jaringan komando, serta merusak sistem senjata yang mengandalkan teknologi digital," kata dia.

"Serangan jenis ini jelas bisa mengganggu pertahanan nasional secara signifikan tanpa perlu adanya kontak fisik. Oleh karena itu, pembangunan pertahanan siber yang kuat dan tangguh menjadi sangat krusial," sambung dia.

Di satu sisi, ia menyadari salah satu kekhawatiran utama terkait pembentukan Angkatan Siber adalah potensi dampaknya terhadap hak-hak ruang siber warga negara. 

Untuk memastikan bahwa keberadaan matra siber tidak membatasi kebebasan dan hak-hak privasi warga negara, menurut dia penting untuk menetapkan regulasi yang jelas dan komprehensif. 

"Kerangka hukum yang melindungi privasi dan hak-hak dasar harus dirancang untuk mengatur batasan kewenangan, pengumpulan data, dan penggunaan informasi, serta menyediakan mekanisme pengawasan independen untuk mencegah penyalahgunaan wewenang," kata dia.

Selain itu, menurutnya transparansi dalam operasi Angkatan Siber juga menjadi hal yang sangat penting. 

Prosedur yang jelas dan akuntabel dalam pelaksanaan tugas serta pelaporan kegiatan kepada publik, menurut Fahmi dapat membantu menjaga kepercayaan masyarakat dan mengurangi risiko pelanggaran hak-hak siber.

Selain itu pendidikan dan kesadaran masyarakat mengenai hak-hak mereka di ruang siber serta mekanisme pelaporan jika terjadi penyalahgunaan juga harus menjadi prioritas.

Menurutnya Slsosialisasi mengenai privasi digital dan perlindungan data pribadi dapat membantu mengurangi dampak negatif dari keberadaan matra siber.

Baca juga: Keamanan Siber Indonesia Masih Lemah, Ketua MPR Tegaskan TNI Harus Punya Matra Baru

Selain itu, kata dia, kolaborasi dengan lembaga pengawasan independen seperti Komisi Informasi, Ombudsman, atau lembaga perlindungan hak asasi manusia perlu diperkuat.

"Keterlibatan lembaga-lembaga ini dalam proses evaluasi dan pengawasan akan memastikan bahwa operasional Angkatan Siber tetap dalam koridor hukum yang sesuai," kata dia.

"Dengan langkah-langkah ini, diharapkan bahwa keberadaan Angkatan Siber dapat memperkuat pertahanan siber nasional tanpa mengorbankan hak-hak dan kebebasan warga negara di ruang siber. Perlindungan hak-hak tersebut harus menjadi bagian integral dari perencanaan dan pelaksanaan strategi siber nasional," sambung dia.

Fahmi juga memandang untuk mewujudkan pembentukan Angkatan Siber sebagai matra baru, perubahan dalam Undang-Undang Dasar (UUD) dan Undang-Undang (UU) TNI diperlukan. 

Struktur dan fungsi matra TNI saat ini, kata dia, diatur dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang ada.

Jika perubahan tersebut melibatkan penambahan atau modifikasi substansi yang berkaitan dengan struktur dan fungsi TNI, kata dia, perubahan dalam UUD tentu diperlukan. 

Proses tersebut, kata dia, memerlukan amandemen konstitusi yang harus melalui mekanisme yang ketat, termasuk persetujuan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Selain itu, menurut dia, revisi UU TNI diperlukan untuk mengatur detil mengenai matra siber, termasuk tugas, wewenang, serta integrasi dengan matra lain dalam TNI.

Proses revisi tersebut juga memerlukan pembahasan dan persetujuan oleh DPR serta dukungan dari pemerintah. 

"Keterlibatan masyarakat dalam konsultasi dan sosialisasi mengenai perubahan ini juga sangat penting untuk memastikan bahwa perubahan yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi nasional," kata dia.

Baca juga: Ancaman Meningkat, Lanskap Keamanan Siber di Indonesia Semakin Kompleks

Ia juga mencatat Presiden Terpilih Prabowo Subianto, selama menjabat sebagai Menteri Pertahanan menekankan pentingnya modernisasi alutsista dan penguatan kapasitas pertahanan Indonesia termasuk di dalamnya pertahanan siber. 

Sebagai mantan perwira tinggi militer, menurutnya Prabowo memahami kebutuhan memiliki kemampuan siber yang kuat untuk menghadapi ancaman yang semakin kompleks. 

Sehingga, kata dia, pembentukan TNI Angkatan Siber bisa dilihat sebagai bagian dari upaya untuk mencapai kemandirian pertahanan, mengurangi ketergantungan pada pihak asing, dan menghadapi ancaman yang semakin berkembang.

Meski demikian, menurutnya dukungan terhadap pembentukan matra siber ini akan bergantung pada sejumlah faktor seperti ketersediaan anggaran, koordinasi antarinstansi, serta dukungan politik dan kebijakan dari parlemen dan stakeholder lainnya.

"Oleh karena itu, langkah yang lebih realistis adalah mewujudkan pembentukan TNI Angkatan Siber secara bertahap, dimulai dengan memperkuat satuan siber yang sudah ada dalam jangka pendek hingga menengah," kata dia.

Fahmi menyimpulkan gagasan pembentukan TNI Angkatan Siber adalah langkah maju dalam menghadapi ancaman pertahanan masa depan yang lebih kompleks dan beragam. 

Namun, menurutnya untuk mewujudkannya diperlukan perencanaan dan strategi yang matang serta kolaborasi lintas sektor yang kuat.

"Langkah bertahap dengan memperkuat satuan siber yang ada adalah pilihan yang lebih bijaksana," kata dia.

"Sembari mempersiapkan pondasi bagi pembentukan matra baru yang tangguh di masa depan, langkah-langkah perlindungan hak warga negara dan perubahan konstitusi serta undang-undang juga harus diperhatikan dengan serius," sambung dia.

Sebelumnya, wacana urgensi pembentukan Angkatan Siber TNI diangkat ke publik oleh Gubernur Lemhannas periode Februari 2022 sampai Oktober 2023 Andi Widjajanto.

Setelahnya, wacana soal itu juga diangkat oleh Ketua Majelis Pemusyawaratan Rakyat RI (MPR) Bambang Soesatyo alias Bamsoet menyatakan sudah saatnya TNI memebentuk Angkatan Siber.

Hal itu disampaikan Bamsoet saat berpidato di Sidang Tahunan MPR/DPR/DPD RI di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta pada Jumat (16/8/2024) lalu.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini