TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Asosiasi Perusahaan Media Luar-Griya Indonesia (AMLI) dan Periklanan menolak kebijakan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 dan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang produk tembakau dan rokok elektronik.
Ketua Umum AMLI, Fabianus Bernadi menyatakan keberatan terkait pasal 449 ayat 1 (d) dalam PP 28/2024, yang melarang penempatan iklan produk tembakau dalam radius 500 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak, sekaligus adanya aturan kemasan rokok polos tanpa merek dalam draft RPMK.
Baca juga: Pengusaha Sebut 5,9 Juta Orang Indonesia Menggantungkan Hidup dari Ekosistem Tembakau
Menurut Fabianus, ketentuan ini akan sulit diimplementasikan karena kurangnya kejelasan definisi mengenai satuan pendidikan dan tempat bermain anak, serta potensi timbulnya pemahaman yang berbeda di masyarakat, penegak hukum, dan pelaku usaha.
"Kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek akan memperparah kondisi akibat ancaman penurunan permintaan iklan brand produk tembakau pada Media Luar-Griya,” ujar Fabianus, Kamis, 19 September 2024.
"Implementasi zonasi radius 500 meter mustahil untuk diimplementasikan, terlebih tidak ada kejelasan terkait definisi dan metode pengukuran. Untuk itu kami tidak dapat mematuhi dan melaksanakan."
Dia mengungkapkan hasil survei yang melibatkan 57 perusahaan dari 29 kota dan daerah di Indonesia terkait dampak kebijakan inisiatif Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tersebut.
Survei menunjukkan bahwa 86 persen perusahaan media luar-griya diperkirakan akan terdampak oleh PP No. 28/2024, terutama karena pengiklan rokok merupakan sponsor utama dalam industri ini akan dibatasi secara ketat.
Dampak dari peraturan baru ini diperkirakan akan sangat berat, dengan 44% perusahaan Media Luar-Griya terancam gulung tikar akibat penurunan pendapatan signifikan dari iklan sponsor rokok.
Rinciannya, 21% perusahaan akan kehilangan 50-75?ri pendapatan mereka, sementara 23% lainnya akan kehilangan 75-100?ri pendapatan. Selain itu, 59% lebih dari tenaga kerja, baik langsung maupun tidak langsung, berisiko terkena pemutusan hubungan kerja.
“Dikhawatirkan dampak ini akan menyebabkan PHK massal dan potensi kebangkrutan yang dapat memperburuk kondisi ekonomi di sektor ini. Pendapatan mereka diperkirakan akan menurun, dan ancaman PHK mencapai 59 persen. Mirisnya, mayoritas dari persentase tersebut merupakan pengusaha kecil dengan skala bisnis menengah ke bawah,” ungkapnya.
Baca juga: Kebijakan soal Zonasi Larangan Penjualan Produk Tembakau 200 M dari Tempat Pendidikan Sulit Diawasi
Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua Dewan Periklanan Indonesia (DPI) sekaligus Ketua Umum Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I), Janoe Arijanto menyoroti pemberlakuan pasal 449 ayat 2 dalam PP 28/2024 mengenai larangan tayang iklan produk tembakau pada Media Luar-Griya videotron dari pukul 22.00 hingga 05.00 waktu setempat.
Apalagi, berdasarkan beberapa peraturan daerah (perda), terutama videotron di luar Jabodetabek telah berhenti beroperasi pada waktu tersebut, sehingga ketentuan ini pada praktiknya sama dengan larangan total iklan produk tembakau.
DPI juga mengusulkan agar pasal-pasal terkait standarisasi kemasan, tulisan, dan desain kemasan produk tembakau dan rokok elektronik yang mengatur kemasan polos dalam RPMK dihapus.
Kemasan rokok polos tanpa merek akan menghilangkan identitas brand dan mengurangi efektivitas promosi produk, karena semua produk akan terlihat serupa tanpa ada perbedaan yang jelas.
Sebagai pemangku kepentingan yang terdampak, DPI bersama Industri Kreatif dan Periklanan menegaskan bahwa iklan produk tembakau berkontribusi signifikan terhadap keberlangsungan usaha dan pendapatan daerah.