Apai Janggut mengawali petuahnya dengan memberikan salam Dayak Iban yang bermakna bumi dipijak, di situ langit dijunjung.
Dia juga menyampaikan pesan leluhur mereka untuk tetap menjaga wilayah adat sampai ke anak cucu.
Ia kemudian menyampaikan bahwa bagi mereka hutan adalah bapak.
Baca juga: Anggota DPR Harap Inventarisasi dan Identifikasi Tanah Ulayat Berikan Kepastian Hukum ke Masyarakat
Hal itu karena 80 persen kehidupan sehari-hari masyarakat Iban tidak lepas dari hutan.
Hutan dianggap seperti Bapak karena hutan yang memberikan tempat bagi mereka mencari nafkah.
"Tanah itu merupakan ibu. Karena dari tanah itu kita bisa bercocok tanam dan dari tanah itu juga kami bisa mengelola untuk kehidupan kami," kata dia.
"Dan kemudian sungai itu kami anggap seperti darah kami. Apabila sungai sudah tercemar, lingkungan sudah tidak lagi lestari maka darah itu seperti air. Air kalau lingkungan sudah tidak bagus lagi itu akan keruh. Dan demikian diumpamakan dengan manusia. Berarti ada yang tidak bagus buat manusia," sambung dia.
Apai Janggut lalu menyampaikan sejumlah pengakuan yang telah diraihnya dan masyarakat Dayak Iban Sungai Utik atas upaya mereka dalam melestarikan lingkungan.
Pertama, kata dia, adalah sertifikat ekolabel yang diserahkan mantan Menteri Kehutanan Menteri MS Kaban pada 7 Agustus 2008.
"Kemudian diikuti desa teladan peduli hutan tingkat nasional waktu itu penghargaan Wanalestari itu diserahkan oleh Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tahun 2011," kata dia disambut hujan tepuk tangan dari para hadirin.
"Kemudian tahun 2019 juga kita mendapat Kalpataru dalam kategori penyelemat lingkungan. Kemudian dilanjutkan dengan prestasi yaitu Apai diutus untuk mendapat Equator Prize di UNDP di New York. Kemudian terakhir yaitu Gulbenkian Prize Apai juga menerima piagam penghargaan ini di Portugal," sambung dia.
Konferensi Internasional tentang sertifikasi tanah ulayat yang diselenggarakan pada 4 sampai 7 September di Kota Bandung itu mengangkat tema “Best Practices of Ulayat Land Registration in Indonesia and ASEAN Countries: Socialization of Ulayat Land in Indonesia".
Baca juga: Menko Polhukam dan Menteri ATR/Kepala BPN Gelar Rakor Bahas Tanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat
Konferensi tersebut diikuti oleh para delegasi dari pemerintah berbagai negara yang juga menaruh perhatian terhadap tanah ulayat Masyarakat Hukum Adat, di antaranya Thailand, Malaysia, Timor Leste, Laos, dan Filipina.
Kegiatan juga diikuti berbagai Civil Society Organization (CSO) internasional yang juga turut memperjuangkan hak-hak Masyarakat Hukum Adat terutama yang terkait kepemilikan tanah.
Mereka di antaranya World Resources Institute (WRI) Global, Lincoln Institute, Food and Agricultural Organization (FAO), World Bank, serta perwakilan pemerintah dan LSM.