TRIBUNNEWS.COM - Peraturan Pemerintah 28/2024 (PP No. 28 Tahun 2024) tentang produk tembakau dan rokok elektronik telah menimbulkan perdebatan panas.
Dalam PP No. 28 Tahun 2024 ini, terdapat Pasal 435 yang mengatur tentang standardisasi kemasan pada produk tembakau dan rokok elektronik yang diturunkan dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK).
Berbagai pihak yang terlibat langsung dalam industri tembakau di Indonesia, mulai dari pemangku kepentingan mata rantai industri hasil tembakau, pedagang, pekerja hingga konsumen, kompak mengkritisi PP 28/2024 ini, terutama soal aturan kemasan polos tanpa merek. Mereka menilai bahwa aturan ini dapat berdampak negatif dan tidak efektif.
Sebagai informasi, kebijakan kemasan polos tanpa merek pada produk tembakau dan rokok elektronik yang serupa sudah diterapkan di Australia sejak tahun 2012. Hasilnya, Negeri Kanguru itu mengalami lonjakan peredaran rokok ilegal yang masif, mencapai angka 28,6 persen dari total konsumsi pada tahun 2023.
Melihat pengalaman Australia tersebut, wajar jika para pihak yang terlibat dalam industri tembakau di Indonesia merasa gerah dengan PP 28/2024.
Ketua Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Henry Najoan menyebut penerapan kemasan polos dapat membuat peredaran rokok ilegal makin marak karena identitas produk tidak ada, sehingga konsumen dapat dengan mudah memilih produk ilegal.
“Kebijakan ini (kemasan polos) tentu akan berpengaruh pada semua pelaku industri tembakau. Yang menjadi kekhawatiran utama kami dari kemasan polos, industri kretek atau rokok putih di Indonesia akan mengalami persaingan tidak sehat dan makin maraknya peredaran rokok-rokok ilegal,” kata Henry dalam diskusi Ruang Rembuk dengan tema ‘Wacana Kebijakan Kemasan Polos pada Produk Tembakau’ di Jakarta pada Senin (9/9/2024).
Baca juga: Rancangan Permenkes Kemasan Polos Dinilai Berdampak ke Industri, Ini Alasannya
Pakar sebut PP 28/2024 bisa melanggar hak konstitusi
PP 28/2024 memang sudah menuai kontroversi sejak pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) pada 2023 lalu.
Pakar Hukum dari Universitas Trisakti Ali Ridho pun menyebut bahwa PP ini masih mengandung kecacatan dari aspek hukum, yang memicu potensi terjadinya pelanggaran konstitusi dan hak kekayaan intelektual (HAKI).
Dalam sesi diskusi yang sama, Ali Ridho memaparkan bahwa PP 28/2024 khususnya kebijakan kemasan polos tanpa merek ini berbenturan dengan beberapa putusan MK, salah satunya Putusan MK No.6/2009 yang menyebut bahwa sektor industri yang melakukan usaha secara legal di Indonesia memiliki hak yang sama dengan industri-industri lain dalam melakukan pengenalan dan pemasaran produknya.
Putusan MK No.71/2013 juga mengakui bahwa industri rokok dan iklan rokok memiliki domain hukum sendiri, di mana rokok masih merupakan komoditas dan produk yang legal sebagaimana diatur dalam berbagai Peraturan Perundang-Undangan.
“Rokok ini sudah diakui sebagai produk yang legal, maka tidak boleh dilarang dipublikasikan. Kalau saya memahaminya dari konstruksi hukum, kebijakan kemasan polos tanpa merek ini membuat kemasan menjadi tidak jelas dan melanggar putusan MK, yang mengakui industri rokok adalah usaha legal dan punya hak yang sama dengan industri-industri lain dalam melakukan pengenalan dan pemasaran produknya,” jelas Ali Ridho.
Tidak hanya melanggar hak konstitusi produsen tembakau, kemasan polos tanpa merek ini, menurut Ridho juga berpotensi mengabaikan hak konsumen yang tertuang dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, di mana produsen wajib memberikan informasi yang jelas mengenai produk mereka.
“Kemasan polos seperti yang diatur dalam PP 28/2024 ini dapat mengaburkan informasi penting tentang produk, sehingga melanggar hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang jelas,” kata Ali Ridho.
Mengingat beberapa pasal masih berbenturan dengan Putusan MK tentang Pertembakauan, Ali Ridho bertanya-tanya tentang kemunculan PP 28/2024 yang seolah-olah tidak mengakui putusan-putusan MK.
“Sejak 2009, kemudian 2010, lalu ada yang terbaru pada 2013, MK sendiri sudah mengakui ada zat adiktif dalam rokok, tetapi tetap merupakan produk legal yang dapat diperjualbelikan. Bahkan pemerintah juga mengakui putusan-putusan MK ini. Maka, lahirnya PP 28/2024 ini membuat kami dari orang hukum bertanya-tanya. Ini spiritnya pengendalian atau punya tujuan lain?” pungkas Ali Ridho.
Pada akhir sesi diskusi, Ali Ridho juga berharap para pihak yang terlibat di sektor industri tembakau dapat terus mendorong dua langkah. Pertama executive review, yaitu meminta pemerintah untuk mengkaji ulang PP ini supaya sesuai dengan putusan MK dan Peraturan Perundang-Undangan (PPU). Kedua adalah melalui judicial review, yaitu menguji PP 28/2024 ini ke Mahkamah Agung.
Penulis: Matheus Elmerio | Editor: Anniza Kemala
Baca juga: GAPPRI: Kewajiban Kemasan Produk Tembakau Dibuat Polos Sama Saja Berikan Karpet Merah Rokok Ilegal