Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan lima orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan tanah di Kelurahan Rorotan, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara oleh Perumda Pembangunan Sarana Jaya tahun 2019–2020.
Lima tersangka itu yakni, Yoory C. Pinontoan, Direktur Utama Perumda Pembangunan Sarana Jaya; Indra S. Arharrys, Senior Manager Divisi Usaha atau Direktur Pengembangan Perumda Pembangunan Sarana Jaya; Donald Sihombing, Direktur Utama PT Totalindo Eka Persada Tbk (PT TEP); Saut Irianto Rajagukguk, Komisaris PT TEP; dan Eko Wardoyo, Direktur Keuangan PT TEP.
"Setelah adanya kecukupan bukti permulaan pada proses penyidikan, KPK menetapkan dan mengumumkan lima orang sebagai tersangka," kata Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu dalam jumpa pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Rabu (18/9/2024).
Empat tersangka kemudian ditahan untuk 20 hari pertama, terhitung sejak tanggal 18 September 2024–7 Oktober 2024. Penahanan dilakukan di Rutan Cabang Gedung KPK Merah Putih.
Sementara Yoory Corneles Pinontoan masih menjadi penghuni Lapas Sukamiskin karena terjerat kasus korupsi sebelumnya.
Konstruksi Perkara
Yoory adalah direktur utama Perusahaan Umum Daerah Pembangunan Sarana Jaya (PPSJ) yang menjabat sejak tahun 2016, lalu pada 6 Mei 2020, Yoory kembali diangkat sebagai dirut untuk periode 2020–2024.
PPSJ adalah sebuah Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Provinsi DKI Jakarta yang bergerak di bidang properti tanah dan bangunan. Salah satu kegiatan usahanya mencari dan membeli tanah di wilayah Jakarta untuk dijadikan unit bisnis atau dijadikan bank tanah (Land Bank).
Baca juga: Saksi Ungkap 5 Pemasok Bijih Timah ke PT RBT yang Diwakili Harvey Moeis, Ada Nama Adam Marcos
Salah satu perusahaan yang menawarkan tanah kepada PPSJ adalah PT Totalindo Eka Persada (TEP) yang bergerak di bidang jasa konstruksi pembangunan high rise building (antara lain apartemen, mall, dan kantor) serta kegiatan penjualan tanah.
Kemudian, sekira bulan Februari 2019, PT TEP berencana membeli enam bidang tanah milik PT Nusa Kirana Real Estate (NKRE) di Rorotan, Jakarta Utara dengan luas sekitar 11,7 Ha seharga Rp950 ribu/m2 yang akan diperhitungkan sebagai pembayaran utang PT NKRE kepada PT TEP dengan nilai transksi total Rp117 miliar.
Pada 18 Februari 2019, PT TEP mengirimkan surat tentang Kerjasama Pengelolaan Lahan seluas 11,7 Ha yang berlokasi di Jalan Rorotan Marunda, Kelurahan Rorotan, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara dengan harga penawaran Rp3,2 juta/m2 menggunakan skema KSO (Kerja Sama Operasional) pengelolaan tanah bersama antara PT TEP dengan PPSJ. Hal ini kemudian direspons oleh Yoory dengan mengirimkan Surat Kepeminatan atas penawaran tanah tersebut.
Baca juga: Kejagung Tetapkan Satu Tersangka Baru di Kasus Korupsi Proyek Tol MBZ
Pada 1 Maret 2019, dilakukan rapat negosiasi harga antara PT TEP dengan PPSJ atas tanah tersebut yang dihadiri oleh Yoory dan Donald. Keduanya menyepakati besaran harga tanah yang akan dilakukan KSO adalah Rp3 juta/m2. Saat itu PPSJ belum menunjuk KJPP (Kantor Jasa Penilai Publik) untuk menilai harga tanah. Selain itu, PPSJ juga belum melakukan kajian internal terkait penawaran KSO dari PT TEP.
"YCP dan ISA mengetahui bahwa harga wajar tanah Rorotan ditawarkan oleh PT TEP sebetulnya jauh di bawah harga penawaran PT TEP yakni di bawah Rp2 juta/m2. Informasi harga wajar sesuai analisis internal dan informasi dari KJPP Wisnu Junaidi telah disampaikan oleh Farouk M. Arzby kepada YCP, namun YCP mengabaikan hal tersebut," kata Asep.
"YCP bahkan mengarahkan agar tidak perlu menunjuk KJPP independen untuk melakukan penilaian harga wajar tanah, namun cukup menggunakan laporan penilaian KJPP yang ditunjuk/ditugaskan oleh penjual/PT TEP. Hal tersebut bertentangan dengan Pergub DKI Nomor 50 Tahun 2019 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa BUMD dan Pergub DKI No. 51 Tahun 2019 tentang Penugasan kepada BUMD terkait Penyediaan Rumah untuk MBR," sambungnya.
Kemudian, pada 6 Maret 2019, Yoory dan Donald melakukan penandatanganan Perjanjian Pendahuluan tentang Perjanjian KSO Proyek Tanah Rorotan antara PPSJ dengan PT TEP. Dalam surat perjanjian tersebut, PT TEP mengaku sebagai pemilik sah dan berhak sepenuhnya atas enam bidang tanah seluas 11,7 Ha. Padahal pihak PT TEP mengetahui bahwa saat itu keenam SHGB tanah Rorotan masih atas nama PT NKRE dan belum ada peralihan hak kepemilikan atas tanah dari PT NKRE ke PT TEP.
Berlanjut, pada periode awal Maret 2019, PPSJ membayar kepada PT TEP uang muka dengan nilai total sebesar Rp30 miliar atas Perjanjian KSO ini. Namun, karena tidak mendapat persetujuan Dewas PPSJ, perjanjian KSO ini kemudian dibatalkan dan uang muka dikembalikan oleh PT TEP kepada PPSJ. Yoory kemudian memerintahkan agar transaksi tersebut diubah dari skema KSO menjadi skema beli putus tanah tanpa melakukan proses beli putus tanah dari awal sesuai dengan ketentuan yang berlaku di PPSJ. Pembayaran uang muka tahap I KSO sebesar Rp20 miliar pada 6 Maret 2019 dan pelunasan tahap I sebesar Rp10 miliar pada 8 Maret 2019 tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
"Bahwa pada akhir bulan Maret 2019, Saudara YCP dan Saudara DNS melakukan penandatanganan enam akta PPJB atas enam bidang tanah Rorotan antara PPSJ dan PT TEP. PPSJ juga membayar uang muka pembelian tanah kepada PT TEP sebesar Rp150 miliar walaupun saat itu PT TEP belum melunasi kewajiban pembayaran tanah kepada PT NKRE," kata Asep.
"Bahwa pada periode bulan April–September 2019, PPSJ telah melakukan beberapa kali pembayaran senilai Rp201 miliar kepada PT TEP. Dengan demikian, total pembayaran untuk tanah seluas 11,7 Ha dari PPSJ kepada PT TEP adalah Rp351 miliar," lanjutnya.
Kemudian, pada 22 Februari 2021, PPSJ melakukan pelunasan atas penambahan luas tanah Rorotan dengan membayar Rp14 miliar kepada PT TEP. Dengan demikian, total uang pembayaran yang telah dikeluarkan PPSJ kepada PT TEP untuk pembelian tanah Rorotan seluas 12,3 Ha (11,7 Ha luas awal ditambah 0,6 Ha penambahan luas pasca-pengukuran ulang) adalah Rp370 miliar.
Pada 23 Februari 2021, baru dilakukan penandatanganan enam AJB antara PT TEP dengan PPSJ untuk jual beli tanah Rorotan, Jakarta Utara dengan luas total 12,3 Ha.
KPK mendugaYoory menentukan lokasi lahan Rorotan yang akan dibeli secara sepihak tanpa didahului kajian teknis yang komprehensif meskipun kondisi lahan berawa dan membutuhkan biaya pematangan lahan yang cukup besar. Selain itu, kondisi lahan tidak memenuhi kriteria teknis lahan Rumah Susun Sederhana (Rusuna) sebagaimana yang ditentukan pada Pasal 3 Pergub DKI Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pembangunan Rumah Susun Sederhana.
Memo intern penyampaian laporan penilaian atas penawaran lokasi Jalan Rorotan–Marunda 11,7 Ha dibuat bertanggal mundur (backdate) oleh pegawai Perumda Pembangunan Sarana Jaya atas perintah Yoory. Memo intern bertanggal 21 Februari 2019 yang merupakan memo penyampaian laporan gabungan kajian evaluasi proposal penawaran dan hasil survei fisik, kajian analisa pasar pesaing, dan kajian analisa finansial/hitungan kelayakan, secara aktual baru dibuat pada 27 Maret 2019 oleh Maulina Wulansari.
Penanggalan mundur tersebut diduga untuk menjustifikasi atau mendukung keputusan sepihak dan subyektif Yoory dalam pembelian tanah dan mengesankan seolah-olah proses investasi atau pengadaan berjalan sesuai prosedur atau ketentuan yang berlaku.
Penyimpangan dalam proses investasi dan pengadaan lahan Jalan Rorotan–Marunda 11,7 Ha yang dilakukan Yoory diduga dipengaruhi dan terkait adanya penerimaan fasilitas dari PT TEP.
Yoory diduga menerima valas dalam denominasi SGD sejumlah Rp3 miliar dari PT TEP. Selain itu, Yoory juga diketahui mendapatkan fasilitas atau kemudahan dalam penjualan aset milik pribadi yang segera dibeli oleh pegawai PT TEP.
Baca juga: Video Susno Duadji Skakmat Pembelaan Iptu Rudiana di Kasus Vina: Pak Kapolri Harus Tahu
Pembelian aset Yoory berupa satu rumah dan satu unit apartemen oleh pegawai PT TEP atas instruksi Eko dan sumber dananya berasal dari kas perusahaan dalam bentuk pinjaman lunak kepada pegawai yang membeli aset tersebut.
"Terdapat kerugian negara/daerah setidaknya sebesar Rp223 miliar (Rp223.852.761.192) yang diakibatkan penyimpangan dalam proses investasi dan pengadaan tanah oleh Perumda Pembangunan Sarana Jaya pada Tahun 2019–2021," kata Asep.
Nilai kerugian negara/daerah tersebut berasal dari nilai pembayaran bersih yang diterima PT Totalindo Eka Persada dari Perumda Pembangunan Sarana Jaya sebesar Rp371 miliar (Rp371.593.267.462) dikurangi harga transaksi riil PT TEP dengan pemilik tanah awal (PT Nusa Kirana Real Estate) setelah memperhitungkan biaya terkait lainnya seperti pajak, BPHTB, dan biaya notaris sebesar total Rp147 miliar (Rp147.740.506,270).
Atas perbuatannya, Yoory dkk disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Penyidikan kasus dugaan korupsi ini merupakan pengembangan dari kasus dugaan korupsi pengadaan lahan yang dilakukan Sarana Jaya di Munjul dan Pulogebang.