Laporan Wartawan Tribunnews.com, Erik Sinaga
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Kalangan pegiat antikorupsi dan prodemokrasi menekankan pemberian kesejahteraan berupa honorarium dan insentif untuk Hakim Agung sebaiknya diatur sepenuhnya oleh Mahkamah Agung dengan cara mengajukannya ke DPR untuk selanjutnya dituangkan dalam APBN.
Hal menanggapi terkait pemotongan honorarium penanganan perkara hakim Mahkamah Agung (MA)n 2022-2024.
Mereka menilai, cara seperti itu akan menjaga independensi hakim. Sebaliknya, karena adanya peraturan pemerintah yang mengatur honorarium penanganan perkara dan pelaksanaan tugas kedinasan lain bagi hakim agung dan hakim konstitusi, membuat hakim berpotensi tidak bebas ketika mengajukan perkara antara masyarakat dan pemerintah.
Pandangan tersebut mengemuka dalam diskusi publik bertemakan “Bedah Kasus Dugaan Pidana Korupsi Pemotongan dan Penyalahgunaan Honorarium Penanganan Perkara (HPP) Bagi Hakim Agung Sedikitnya 97 Miliar” di Kawasan Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (18/9/2024).
“Jangan lewat Peraturan Pemerintah atau Keppres. Biarkan MA yang mengeluarkan peraturan tentang insentif honorarium ini agar MA tidak diikat kekuasaan eksekutif, agar tidak terjadi ketergantungan yudikatif pada eksekutif, apalagi ada perkara antara masyarakat dengan mereka, di sinilah ada konflik kepentingan bisa muncul,” ujar Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus.
Baca juga: Saut Situmorang: Korupsi Pemotongan Honor Hakim Agung Bisa Pengaruhi IPK Indonesia
Senada, Boyamin Saiman mengatakan pengaturan terkait honorarium dan insentif untuk Hakim Agung harus level undang-undang. Karenanya, ia mengatakan MAKI berencana mengajukan uji materi terhadap UU Kekuasaan Kehakiman, UU tentang Mahkamah Agung, dan UU tentang Mahakamah Konstitusi.
“Seluruh honor, seluruh tambahan gaji, dan lain sebagainya itu harus diatur di dalam undang-undang, tidak boleh diatur dalam Peraturan Pemerintah. Segala hal berkaitan dengan kekuasaan kehakiman dalam hal ini Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi harus dalam bentuk undang-undang, endak boleh Peraturan Pemerintah, agar kemudian tidak terjadi lagi seperti kasus pemotongan-pemotongan (honorarium) tadi,” kata dia.
Sementara itu mantan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan uang-uang yang dipotong tersebut sebenarnya harus dikembalikan.
Saut mengatakan jika ada audit, maka semua pengeluaran dan pemasukan harus sesuai dengan peruntukannya. Saut tidak sepakat walau para hakim itu disebut ikhlas honorariumnya dipotong.
Alasannya, perilaku pemotongan tersebut adalah perilaku korup.
"Oh saya iklas. Tapi itu kan menimbulkan perilaku korup. Perilaku korup itu tidak diteruskan. Kan itu yang dirusak dari peristiwa ini," kata dia.
Hadir sebagai pembicara antara lain ahli pidana dari Universitas Triskakti Abdul Fickar Hadjar, mantan Komisioner KPK Saut Situmorang, Koordinator MAKI Boyamin Saiman, , dan Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso.
Penjelasan Mahkamah Agung
Juru bicara MA, Suharto, menegaskan tidak ada pemotongan honorarium secara paksa.
Menurut Suharto, hakim agung telah bersepakat untuk menyerahkan secara sukarela 40 persen dari hak honorarium mereka dari penanganan perkara.
"Fakta yang terjadi para hakim agung berepakat untuk serahkan secara suka rela 40 persen dari hak honorarium penanganan perkara yang diterima untuk didistribusikan kepada tim pendukung teknis dan administrasi yudisial," kata Suharto saat konferensi pers di Hotel Royal Ambarrukmo, Sleman, Selasa (17/9/2024).
Suharto mengatakan pernyataan suka rela tersebut dituangkan dalam surat pernyataan bermaterai.
"Pernyataan penyerahan secara sukarela sebagian haknya tersebut dituangkan dalam bentuk surat pernyataan bermaterai yang diketahui oleh ketua kamar yang bersangkutan," pungkas Suharto.