Seleksi Dewas KPK, Wisnu Baroto Dicecar soal Perobekan Buku Merah KPK hingga Ketidakpatuhan
Laporan Reporter Tribunnews.com, Reza Deni
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan sekaligus eks Staf Ahli Jampidum Kejaksaan Agung, Wisnu Baroto, mengikuti tes wawancara seleksi calon Dewan Pengawas atau Dewas KPK di kantor Kementerian Sekretariat Negara (Kemensesneg), Jakarta Pusat, Jumat (20/9/2024).
Dalam wawancara itu, anggota Pansel, Taufik Rachman, mencecar Wisnu Baroto soal gambaran dewas dan pimpinan KPK hingga kasus penyobekan buku merah KPK di era pimpinan Agus Rahardjo.
Taufik menanyakan Wisnu, apakah kasus penyobekan buku merah di KPK masuk kategori pelanggaran etik atau pidana.
"Tadi, disebutkan tahapan yang paling kritis pada penyelidikan, penyidikan, penuntutan, padahal di sini kita bicara dewas ini ditekankannya kepada etik. Dulu ada kasus penyobekan buku, itu etik atau tindak pidana?" tanya Taufik.
Wisnu kemudian menjawab, bahwa saat bertugas di kejaksaan, jika ada pegawai kejaksaan yang melakukan pelanggaran, maka hal itu ditelaah, baik dari sisi etik maupun pidana.
"Jadi, ada dua-duanya. Kita serahkan untuk dilakukan (pemeriksaan etik), dan pada waktu itu terbukti dan dihukum. Jadi, seharusnya seperti itu," kata Wisnu.
Baca juga: Tes Wawancara Capim KPK, Pahala Nainggolan Dicecar Soal Kehancuran KPK hingga Jet Pribadi Kaesang
Wisnu mengaku saat ini belum mengetahui apakah Dewas KPK mempunyai kewenangan untuk menyerahkan kasus dan laporan terhadap pegawai KPK kepada aparat penegak hukum atau tidak.
"Kalau setahu saya di sini kan enggak ada dan enggak pernah diserahkan, dan terserah kepada aparat mau menyidik atau tidak. Kalau kami dulu diserahkan untuk penyidikan, bahkan di Jamwas (Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan) itu boleh dilakukan penyidikan, di samping kita melakukan pemeriksaan etik, nanti berkasnya diserahkan Jampidsus (Jaksa Agung Muda Pidana Khusus)," kata Wisnu.
Kemudian, Panelis Eksternal Pansel KPK, Laode Syarif menambahkan pertanyaan dari Taufik.
Dia bercerita dulu sempat ada kasus praperadilan dan berujung pada ketidakpatuhan direktur KPK terhadap pimpinan KPK.
"Ini ada ditetapkan tersangka terus praperadilan tapi sebenarnya bisa lagi ditetapkan sebagai tersangka tapi misalnya deputi atau direkturnya tidak setuju, maksudnya arahan pimpinan tidak dilaksanakan, kalau terjadi seperti itu dewas harus bagaimana?" tanya Laode.
Baca juga: Geger Kader PKS Tersangka Pencabulan Anak Dilantik jadi Anggota DPRD, Plh Presiden PKS Angkat Bicara
Wisnu menjawab bahwa jika memang ada laporan soal ketidakpatuhan itu ke Dewas, maka Dewas harus melakukan telaah soal adanya kemungkinan pelanggaran etik. Jika tidak ada laporan, Wisnu menjawab Dewas KPK tidak akan pernah tahu.
Karena itulah, jika menyangkut ke tahap praperadilan sebuah kasus, maka posisi dewas KPK juga harus perlu diisi oleh orang yang berpengalaman di bidang tersebut.
"Ya itulah mengapa dewas perlu dari penuntut umum karena biar tahu teknik-teknik dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan. Jadi kita tahu duduk kasusnya seperti itu. Kalau penyidiknya memang keliru bisa dilakukan tindakan kode etik," kata dia.
"Karena itu kan kita lihat dulu posisi, selama itu tidak melaksanakan perintah pimpinan ya itu kan kode etik. Kalau pidananya ya tindak pidananya bagaimana, sepanjang itu enggak bisa dibuktikan ya itu kode etik," pungkasnya.