Laporan wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu
TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA - Kementerian Kesehatan (Kemenkes RI) memastikan jumlah penawar bisa ular atau antivenom di Indonesia aman.
Hal ini merespons, peringatan organisasi kesehatan dunia atau WHO yang menyatakan bahwa dunia sedang menghadapi ancaman kekurangan penawar bisa ular.
"Sejauh ini jumlah antivenom di Tanah Air aman," ujar Plt Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik dr Siti Nadia Tarmizi MEpid saat dihubungi Tribunnews.com, Jumat (20/9/2024).
Ia menuturkan di tahun 2023 Kemenkes membeli beberapa jenis antivenom.
Kemudian di tahun 2024, Kemenkes membeli 4 jenis antivenom berjenis polivalen yakni satu antivenom yang bisa menangani sejumlah bisa ular.
Antivenom ini didistribusikan ke semua Dinkes Provinsi di Indonesia sehingga semua rumah sakit (RS) bisa mengakses antivenom bila mendapat kasus gigitan ular berbisa.
Adapun antivenom yang dibeli oleh Indonesia mayoritas berasal dari Thailand.
Baca juga: WHO Peringatkan Ancaman Akibat Kekurangan Penawar Bisa Ular
"Antivenom dari Australia masih belum karena produksi yang terbatas," ungkap Nadia.
Sejauh ini Indonesia melalui Kemenkes memiliki 7 antivenom di mana jenisnya monovalen dan polyvalen.
Monovalen digunakan untuk gigitan king cobra (Ophiophagus hannah), cobra (Naja kaouthia), banded krait (Bungarus fasciatus), malayan pit viper (Calloselasma rhodostama), russels's viper (Daboia russeli siamensis), green pit viper (Trimeresurus albolaris), serta malayan krait (Bungarus candidus).
Sementara itu, yang polyvalen adalah neuro polyvalen (untuk king cobra, cobra, dan malayan krait) serta haemoto (untuk malayan pit viper, green pit viper, dan russel's viper).
Dikutip dari VOA, WHO menjelaskan pada tahun 2019 sejumlah perusahaan obat sejak tahun 1980an, tidak lagi memproduksi antivenom.
Baca juga: Efektivitas Anti Bisa Ular, Sempat Diberikan pada Eks Asisten Panji Petualang Sebelum Meninggal
Imbasnya memicu kekurangan antivenom parah di Afrika dan beberapa negara Asia.
India adalah negara yang terkena dampak paling parah di dunia, dengan sekitar 58.000 orang meninggal akibat gigitan ular setiap tahunnya, sementara negara tetangganya, Bangladesh dan Pakistan, juga terkena dampak paling parah.
Bencana banjir besar di Pakistan, Myanmar, Bangladesh, Sudan Selatan dan negara-negara lain juga disertai dengan meningkatnya gigitan ular.
WHO juga memperingatkan bahwa perubahan iklim berisiko menyebarkan ular berbisa, sehingga mungkin membuat negara-negara yang sebelumnya tidak terkena dampaknya, kini berbahaya.