News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Ada Gelombang PHK, Serikat Buruh Desak Pemerintah Hentikan Pembahasan RPMK Kemasan Polos Tanpa Merek

Penulis: Arif Tio Buqi Abdulah
Editor: Suci BangunDS
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sudarto AS, Ketua PP FSPRTMM SPSI.--- Sudarto, mengingatkan ancaman badai PHK juga menerpa Industri Hasil Tembakau (IHT), yang selama ini menjadi salah satu penyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia.

TRIBUNNEWS.COM – Badai pemutusan hubungan kerja (PHK) mengancam sektor industri tembakau di tengah pembahasan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang menuai banyak protes. 

Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat, jumlah PHK di berbagai sektor dari Januari hingga akhir Agustus mencapai 46.240 pekerja.

Ada tren kenaikan yang terus berjalan, kemungkinan terburuknya gelombang PHK yang terjadi diperkirakan bakal terus membesar hingga bisa di atas 70.000 tenaga kerja pada akhir tahun 2024.

Namun Kemnaker berupaya untuk menekan angka tersebut agar tidak lebih tinggi dari PHK tahun lalu yang mencapai 64.000.

Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan dan Minuman (FSP-RTMM), Sudarto, mengingatkan ancaman badai PHK juga menerpa Industri Hasil Tembakau (IHT), yang selama ini menjadi salah satu penyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia yang mencapai lebih dari 6 juta tenaga kerja. 

Apalagi, kata dia, peraturan yang berkaitan pertembakauan yang sangat menekan dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) dengan ketentuan kemasan rokok polos tanpa merek sedang dikejar target penyelesaiannya akhir September ini.

Menurutnya, industri padat karya ini telah menjadi sawah ladang atau sumber mata pencaharian utama para buruh di Indonesia.

"IHT ini adalah industri padat karya menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar. Seharusnya dipertahankan dan dilindungi dengan kebijakan yang baik," ujar Sudarto, selepas Forum Diskusi Advokasi Industri Rokok Tembakau Makanan Minuman -  Antisipasi Regulasi Industri Yang Dapat Menghambat Kelangsungan & Pertumbuhan Industri Sebagai Sawah Ladang, Sumber Mata Pencaharian Pekerja, Selasa (24/9/2024).

"Ada jutaan pekerja yang terlibat di berbagai level dalam IHT, mulai dari petani tembakau, buruh pabrik, hingga pedagang kecil."

"Hati-hati, potensi PHK bagi pekerja akan memperburuk kondisi ekonomi pekerja yang sudah sangat tertekan, apalagi baru adanya pengesahan PP 28/2024," lanjutnya. 

"Realitanya tempat kerja kami, IHT ini ditekan bertubi-tubi. Ini adalah sawah ladang bagi buruh. Tahun 2011 lalu masih ada 2.000 pabrik rokok, sekarang tinggal 200-an pabrik."

"Kami, sudah kehilangan 67.000 tenaga kerja dari segmen Sigaret Kretek Tangan (SKT) sejak 2015-2022. Ada 44 perusahaan yang berkurang. Kami sudah dimarjinalkan secara sistematis. Perlakuan terhadap kami tidak adil, kami terzolimi," kata dia, melalui keterangan kepada Tribunnews. 

Baca juga: General Motors PHK Massal, 1.695 Pekerja Jadi Korban

Sudarto berharap, pemerintah mengambil langkah konkrit untuk melindungi pekerja dari PHK, salah satunya dengan menghentikan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang tengah didorong Kemenkes karena akan berdampak pada keberlangsungan tenaga kerja. 

"Pemerintah tolong stop pembahasan RPMK. Kami sangat menolak pasal-pasal pengaturan di RPMK termasuk regulasi kemasan rokok polos (tanpa merek). Bagaimana bisa aturan di atasnya PP No 28/2024 hanya mengatur peringatan kesehatan dan tidak ada pengaturan kemasan polos (tanpa merek), kenapa RPMK melangkahi peraturan di atasnya? Proses penyusunannya juga sudah cacat." 

"Tidak ada alasan untuk melanjutkan pembahasan aturan yang tidak adil dan menyakiti pekerja," lanjutnya.

Atas nama pekerja, Sudarto meminta pemerintah memberikan dukungan yang lebih signifikan agar industri IHT hususnya segmen SKT mampu menyerap tenaga kerja lebih banyak lagi sehingga mengurangi beban negara. 

"Apapun peraturan yang disiapkan pemerintah, kami mohon agar dibuat berdasarkan pertimbangan yang matang terhadap semua dampak yang dapat terjadi, baik itu untuk industri atau pekerjanya. Jangan hanya satu variabel saja," kata Sudarto.

Sementara itu, Nikodemus Lupa, perwakilan dari Direktorat Kelembagaan dan Pencegahan Perselisihan Hubungan Industrial Kemnaker menanggapi bahwa jangan sampai pekerja jadi korban karena aturan yang tidak seimbang. 

"Kami berharap jangan ada aturan yang tidak berpihak pada pekerja. Ketika ada aturan yang menekan, dan tidak mengatur secara ideal, maka salah satu pihak akan jadi korban. Maka, agar tidak ada korban, kita harus duduk bareng, Kemenkes bersama Kemenkeu, dan lintas kementerian lainnya agar pekerja dapat diberi perlindungan sehingga mereka tidak kehilangan pekerjaan," ujar Nikodemus. 

Baca juga: Dinilai Merugikan Industri, Kebijakan Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek Diprotes

Forum Diskusi Advokasi Industri Rokok Tembakau Makanan Minuman ini diadakan oleh Serikat pekerja sebagai bentuk dialog antara tenaga kerja dan berbagai Kementerian Lembaga.

Namun, di forum ini Kementerian Kesehatan yang diundang justru tidak hadir, padahal  banyak dinantikan kehadirannya dapat memberikan pencerahan. 

"Kami berharap pembuat kebijakan hendaknya duduk bersama. Upaya Serikat Pekerja mengundang Kementerian Tenaga Kerja sudah tepat, namun sayangnya Kementerian Kesehatan yang sudah diundang tidak hadir. Sementara kita sudah berbusa-busa tapi induk yang membuat kebijakan justru belum memberikan solusi," kata dia. 

Nikodemus juga menekankan bahwa para pekerja harus diberi perlindungan, agar jangan sampai pekerja kehilangan martabat nya. 

"Kami di Kemenaker akan terus hadir dan mem-back up, mempertahankan tenaga kerja. Kami ingin pekerja tidak menjadi korban aturan yang tidak seimbang" tambahnya. 

Ketua Umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan, menekankan bahwa selama ini industri hasil tembakau diatur oleh aturan fiskal dan non fiskal yang akhir-akhir ini sangat menghimpit. 

"IHT ini adalah industri padat karya dan padat regulasi, ada 480 peraturan tingkat daerah hingga pusat yang mengelilingi kami. Bisa dibayangkan bahwa industri ini sangat tertekan."

"Nah, sekarang pemerintah melahirkan peraturan yang terus melarang. Mulai dari UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023, PP No 28 Tahun 2024, dan sekarang Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK). Aturan ini akan menimbulkan masalah baru, pekerjanya mau dikemanakan?" tegas Henry. (*) 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini