Laporan Wartawan Tribunnews.com Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Generasi muda saat ini 'dihantui' oleh kurangnya pemahaman tentang ideologi Pancasila yang sejatinya merupakan cerminan jati diri dan jiwa bangsa Indonesia, yang berimplikasi pada degradasi moral, perilaku dan sopan santun dalam masyarakat.
Hal ini terlihat dari maraknya aksi bullying, flexing, kekerasan seksual hingga suburnya budaya- budaya asing yang memiliki kecenderungan negatif dan tidak sesuai dengan norma-norma ketimuran, khususnya Indonesia.
"Untuk itu kami menggagas konsep revolusi pemahaman, cara pandang tentang Pancasila agar kembali dipakai sebagai Way of Life dan Way of Thinking bangsa Indonesia sesuai pemikiran dan tujuan para pendiri bangsa, bukan hanya sekedar pemahaman teoritis demi tujuan pendidikan formal semata," kata Ketua Yayasan Rumah Anak Pancasila, Juan Alexander Wake di sela-sela acara diskusi dan Internalisasi Pancasila bersama Universitas Bung Karno di Jakarta belum lama ini.
Juan menyebut gagasan revolusi cara belajar Pancasila berbasis sejarah, kebudayaan dan iman dinamakan Revolusi Pancasila Lima Mutiara.
"Pancasila Lima Mutiara yang digagas Rumah Anak Pancasila terinspirasi dari pidato-pidato Ir. Soekarno tentang Pancasila, termasuk pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945 dihadapan sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan," katanya.
Metode ini, kata dia bisa mengganti pola belajar Pancasila konvensional menjadi belajar ber-pancasila secara aktif lewat penggalian sejarah, budaya dan iman (kepercayaan) di masing-masing provinsi yang sangat khas, unik dan kaya sehingga seharusnya, mempelajari bangsa kita yang besar ini tidak akan membuat kita jemu.
Konsep Pancasila Lima Mutiara merupakan sebuah perspektif dari Bapak Bangsa kita, Ir Soekarno ketika beliau menggali ke dalam djiwa bangsa Indonesia dan menemukan mutiara lima yang kemudian diejawantahkan oleh Rumah Anak Pancasila menjadi 5 Persamaan Rasa: Rasa Kagum & Syukur kepada Tuhan YME (Sila 1), Rasa Persaudaraan (Sila 2), Rasa Persatuan (Sila 3), Rasa Kebersamaan (Sila 4), dan Rasa Peduli (Sila 5).
"Kelima rasa ini kami percayai dimiliki oleh nenek moyang hingga pendiri bangsa kita, dan yang membuat bangsa kita kuat serta bertahan dalam kebhinnekaan sampai hari ini karena ternyata setelah kami ikut menggali dan menyelami sejarah, budaya dan berbagai kepercayaan (iman) bangsa Indonesia, kami selalu menemukan kelima perasaan ini. Lima mutiara," kata Juan.
Ditambahkan, jelang tahun 2045 yang digadang menjadi tahun Indonesia Emas, masih banyak segudang pekerjaan rumah terkait pembangunan manusia yang harus dilakukan.
"Kami mendorong pemerintah khususnya Kemendikbud, Kemenag dan BPIP untuk membangun kerja sama tripartit, yang menjadi ujung tombak dalam pembumian konsep Pancasila sebagai djiwa bangsa Indonesia.
Baca juga: Megawati Kunjungi Rusia dan Uzbekistan, BPIP: Perkenalkan Pancasila Kepada Dunia
Pendidikan Pancasila harus menjadi Pendidikan Ber-Pancasila, yaitu keluar ke masyarakat, mengalami dan bertemu langsung dengan kebhinekaan, lalu menemukan lima persamaan rasa. Bukan di ruang-ruang kelas," katanya.