“Kami juga melakukan wawancara dengandata 9 narasumber kunci pemegang kebijakan pertanahan di Indonesia, mulai dari menteri, dirjen, masyarakat, tokoh masyarakat, dan pebisnis properti.
Sementara itu, data sekunder diperoleh dari laporan, publikasi, artikel, pustaka yang dipercaya.
Data sekunder yang dikumpulkan memperhatikan keragaman sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat di wilayah Indonesia Barat, Tengah, dan Timur,” imbuh Jonahar.
Jonahar juga mengungkapkan tantangan utama dalam penelitian ini adalah lahirnya sertifikat ganda, data yang belum update dan akurat.
Oleh karena itu, metode pemetaan kadaster berbasis satelit dapat menjadi acuan dalam pendaftaran tanah di Indonesia, disusul dengan metode terestris dan metode fotogrametri.
“Peningkatan dan pengembangan teknologi untuk terus meningkatkan akurasi data pendaftaran tanah dianggap sangat penting dilakukan. Peningkatan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia di bidang pengukuran tanah merupakan prioritas utama untuk dilakukan,” ujarnya.
Untuk penilaian tanah, sambung Jonahar, penting dikembangkan teori dan model penilaian tanah yang mempertimbangkan penilaian tanah berbasis pasar dan non-pasar untuk menjadi dasar operasional penilaian tanah di lembaga pertanahan.
“Badan Pertanahan Nasional (BPN) merupakan lembaga yang paling bertanggung jawab dan paling dominan dalam keseluruhan proses pendaftaran tanah di Indonesia.
Dalam praktiknya, proses melibatkan peran pemerintah daerah, pemerintah desa, masyarakat, dan tokoh masyarakat,” imbuh Jonahar.
Jonahar menyimpulkan dari hasil penelitiannya, bahwa Pertama, penelitian ini berhasil melakukan evaluasi kualitatif penyelenggaraan pendaftaran tanah di Indonesia.
Selanjutnya penelitian ini juga telah mendapatkan secara detil kualitatif kekuatan, kelemahan, dan harapan perbaikan sistem pendaftaran tanah nasional.
Diharapkan hasil evaluasi kualitatif ini bisa menjadi acuan untuk melakukan evaluasi kuantitatif atas sistem pendaftaran tanah nasional;
Kedua, pendaftaran tanah di Indonesia bisa dilakukan percepatan dengan mengembangkan terobosan kelembagaan operasional penyelenggaraan pendaftaran tanah sistematik (PT31), yang diharapkan bisa menjadi pengganti semua pendaftaran tanah sistematik yang pernah dilakukan;
Ketiga, integrasi land value capture berbasis data spasial ke dalam sistem pendaftaran tanah nasional memungkinkan bagi lembaga pertanahan (ATR/BPN) untuk dapat memfasilitasi pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat untuk melakukan land value capture yang bersumber awal dari pendaftaran tanah dan pengembangannya.