Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fahdi Fahlevi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Subdit Tarif Cukai dan Harga Dasar Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan, Ari Kusuma, mengatakan dari empat pilar dalam penyusunan kebijakan produksi hasil tembakau, ekosistem pertembakauan di Indonesia harus diperhatikan secara keseluruhan.
Ari mengatakan cukai hasil tembakau (CHT) menyumbang sekitar 12,2 persen dari total keseluruhan penerimaan pajak negara.
Menurutnya, nilai tersebut cukup besar jika dilihat kontribusinya dari satu sektor saja.
“Dengan begitu, sektor ini harus diperhitungkan ketika membuat kebijakan dan perlu melibatkan banyak pihak, tidak bisa hanya melihat dari satu sisi saja," ungkap Ari melalui keterangan tertulis, Selasa (1/10/2024).
Hal tersebut diungkapkan oleh Ari dalam diskusi publik INDEF bertajuk "Industri Tembakau Suram, Penerimaan Negara Muram" di Jakarta.
Ari juga memaparkan perkembangan penyebaran rokok ilegal pada periode 2022-2023, yakni dari 5,5% meningkat menjadi 6,9%.
Artinya, ada tantangan lainnya yang harus dihadapi oleh pemerintah jika aturan kemasan rokok polos tanpa merek ini diterapkan, mulai dari pemberantasan rokok ilegal dan berbagai tantangan dari sisi penerimaan dan penurunan produksi.
“Kami melihat adanya tantangan dari sisi penerimaan dan akan mempengaruhi penurunan produksi yang pada gilirannya mempengaruhi penerimaan cukai," ujarnya.
Di kesempatan yang sama, Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, berpendapat bahwa selain kurangnya transparansi dan partisipasi dari pemangku kepentingan terkait, PP 28/2024 maupun RPMK dapat memberikan efek negatif berganda bahkan tiga kali lipat jika melihat target penerimaan cukai yang masih belum tercapai selama tiga tahun terakhir.
“Jika Permenkes diberlakukan, maka akan terjadi hal yang dikhawatirkan bukan hanya pada penerimaan, tapi juga pada pekerja, industri, dan lainnya,” katanya.
Tauhid menekankan pemerintah baru, terutama Menteri Keuangan, akan mengalami tantangan akibat adanya aturan kemasan rokok polos tanpa merek dari pemerintahan saat ini.
Aturan tersebut dianggap mengkhawatirkan penerimaan negara yang semakin sulit diperoleh.
Berdasarkan hasil studi dampak, penerapan PP 28/2024 dan RPMK tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik berpotensi menghilangkan dampak ekonomi sebesar Rp308 triliun atau setara dengan 1,5?ri PDB.
Selain itu, dampak terhadap penerimaan perpajakan diperkirakan akan kehilangan sebesar Rp160,6 triliun atau setara dengan 7?ri total penerimaan perpajakan nasional.
Kebijakan ini juga berpotensi mempengaruhi sekitar 2,3 juta tenaga kerja di sektor industri tembakau dan produk turunannya atau 1,6?ri total penduduk bekerja.
Baca juga: Ekonom Sebut Negara Berpotensi Kehilangan Pendapatan Besar Akibat Kemasan Rokok Polos
Lalu, jika menilik secara lebih mendalam perhitungan dampak dari aturan kemasan rokok polos tanpa merek didapatkan potensi dampak ekonomi yang hilang adalah sebesar Rp182,2 triliun, sementara penerimaan perpajakan dapat menurun hingga Rp95,6 triliun.