“Ada yang perlu dicermati juga jika pasal 188-190 ini diterapkan sebagai ordinary crime sementara terorisme extraordinary crime maka bagaimana denan lapas super maximum security?” ucapnya.
Senada dengan Eva, Ketua Program Doktor SKSG UI, Dr Margaretha Hanita SH MSi kembali mengungkapkan disertasi yang pernah disusunnya tentang makar organisasi terkait Papua Merdeka.
Dia mengatakan pada level tertentu seseorang yang dipidana dengan kejahatan makar justru meningkatkan keterkenalan dan pengaruh di kelompoknya.
“Kita perlu cermat (menempatkan) mana makar mana terorisme,” ucapnya.
Implementasi pasal 188, 189, dan 190 UU Nomor 1 Tahun 2023, sebenarnya telah ada dalam penjelasannya.
Namun, dalam diskusi kelompok terpumpun yang diselenggarakan SKSG UI terlihat masih perlunya penjelasan lebih detail.
Penjelasan mengenai pembuktian unsur delik, hingga lembaga yang memiliki kewenangan sebagai penginterpretasi Pancasila sangat diperlukan.
Sementara itu, Ishlah Bahrawi dari Jaringan Moderat Indonesia, mengatakan sering kali sebuah negara lengah memantau ideologi yang bisa jadi sumber terorisme.
Ia pun menyebut Baader Mainhof sebagai contoh yang terjadi di Jerman dengan sistem demokrasinya.
Ishlah menyampaikan perlunya kehati-hatian terhadap ideologi semacam wahabi-salafi di Indonesia.
“Wahabi-salafi adalah embrio terorisme. Ini berasal dari pengalaman dialog langsung dengan mantan napiter yang menantang saya dialog karena protes atas pernyataan saya. Terhadap kelompok yang taqiyah inilah kita perlu menerapkan 188, 189, dan 190,” ujarnya.
Dalam pandangannya universalisme Pancasila perlu dijaga.
Baca juga: HUT ke-79 TNI, BNPT Berharap TNI-Polri Terus Kolaborasi Berantas Terorisme dan Radikalisme
Namun, bukan berarti negara dapat abai terhadap ideologi-ideologi yang bisa menjadi akar terorisme di Indonesia.
“Gerakan kiri jauh dan kanan jauh saat ini bertemu di Jerman dan sedang menjadi perhatian negara. Termasuk di dalamnya cyber terrorism, ini perlu dilakukan Indonesia juga,” ujarnya.