TRIBUNNEWS.COM - Hilirisasi menjadi salah satu kebijakan kunci dari Presiden Joko Widodo selama dua periode memimpin Indonesia. Kebijakan ini pun telah menjadi topik perdebatan hangat, baik pada perspektif dalam negeri maupun internasional.
Salah satu aspek penting yang memicu diskusi tersebut adalah gugatan yang diajukan oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terkait larangan ekspor bijih mentah, khususnya nikel. Kebijakan ini dinilai bertentangan dengan aturan perdagangan internasional karena dianggap membatasi akses pasar global terhadap bahan mentah, yang memicu reaksi dari sejumlah negara konsumen, terutama Uni Eropa.
Namun, dari perspektif dalam negeri, kebijakan hilirisasi mendapatkan dukungan yang signifikan. Hilirisasi dianggap sukses dalam menciptakan nilai tambah ekonomi, membuka lapangan kerja, dan meningkatkan pendapatan negara melalui pajak serta industri pengolahan. Langkah strategis ini bertujuan untuk mendorong komoditas ekspor Indonesia agar tidak lagi dalam bentuk bahan mentah, tetapi sudah berupa barang setengah jadi, yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi.
Dalam pidatonya di Sidang Tahunan MPR dan Sidang Bersama DPR-DPD pada 16 Agustus 2024, Presiden Jokowi menyebutkan bahwa program hilirisasi yang dimulai dari nikel, bauksit, tembaga, akan terus dilanjutkan, di mana komoditas berikutnya yang akan mendapat perlakuan serupa adalah timah.
"Alhamdulillah, sampai saat ini telah terbangun smelter dan industri pengolahan untuk nikel, bauksit, dan tembaga yang membuka lebih dari 200 ribu lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan negara Rp158 triliun selama 8 tahun ini," katanya.
Jokowi juga menegaskan bahwa hilirisasi tidak akan berhenti di pertambangan. Sektor-sektor lain seperti perkebunan, pertanian, dan kelautan, juga menjadi fokus ke depan.
Presiden Terpilih RI 2024-2029 Prabowo Subianto pun mengaminkan hal tersebut. Melalui hilirisasi, tambah Prabowo, kekayaan alam Indonesia nantinya dapat diolah di Indonesia, sehingga memberi nilai tambah bagi negara.
"Hilirisasi berarti kekayaan alam kita harus diolah, jadi produk-produk yang nilainya naik supaya rakyat kita bisa makmur, supaya kekayaan itu dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia," kata Prabowo saat menghadiri acara bertajuk 'Silaturahmi & Deklarasi DPW Paguyuban Keluarga Besar Pujakesuma Provinsi Jambi' yang digelar di Abadi Convention Center (ACC), Jambi, Selasa (9/1/2024).
Karenanya, ia menegaskan bahwa hilirisasi yang dijalankan Presiden Jokowi harus dilanjutkan di era selanjutnya.
Dampak positif hilirisasi 10 tahun pemerintahan Jokowi
Kebijakan hilirisasi Indonesia diawali dengan pelarangan ekspor nikel mentah pada awal 2020. Saat itu, ditetapkan bahwa bijih nikel harus diolah terlebih dahulu di smelter Indonesia. Setelah nikel, menyusul larangan ekspor bijih bauksit per 10 Juni 2023.
Selanjutnya, komoditas tambang lain yang akan diatur ekspornya adalah tembaga yang bila merujuk pada rencana terbaru, akan dimulai pada 1 Januari 2025.
Hasil hilirisasi nikel sendiri menunjukkan nilai ekspor yang sangat menjanjikan, mencapai 40 miliar dolar AS pada 2023. Angka ini melonjak drastis dibanding pada 2014 yang berjumlah 2 miliar dolar AS.
Sejak 2020, ekspor nikel telah menunjukkan tren kenaikan. Pada tahun tersebut, nilainya sebesar 11,6 miliar dolar AS. Pada 2021 melonjak ke 22,2 miliar dolar AS. Tahun berikutnya, yaitu 2022, angkanya naik hingga 33,8 miliar dolar AS.
Langkah Pemerintah dalam meningkatkan nilai tambah ini tidak hanya memacu kinerja ekspor, namun juga menciptakan lapangan pekerjaan dan menjaga resiliensi perekonomian. Ke depan, Pemerintah juga akan melakukan ekspansi pada ekosistem yang lebih luas seperti pembuatan kendaraan listrik dalam negeri terutama pada produksi baterai.