Laporan Wartawan Tribunnews, Mario Christian Sumampow
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti menegaskan peristiwa kekerasan pada tahun 1998 di Indonesia termasuk kategori pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat.
Berdasarkan Undang-Undang 26/2000 tentang Pengadilan HAM dalam pasal 7 tertuang pelanggaran HAM berat meliputi genosida dan kejahatan terhadap manusia.
"Dan kemudian pasal 9 (UU 26/2000) bilang ya, namanya kejahatan terhadap manusia itu segala macam hal yang terkait dengan yang terjadi pada tahun 98," ujar perempuan yang akrab disapa Bibip ini saat dikonfirmasi Tribunnews, Senin (21/10/2024).
"Pembunuhan massal, kan 98 itu berat sekali ya, masalah penculikan terhadap aktivis, masalah perkosaan terhadap perempuan-perempuan, itu semua jelas kategorinya pelanggan-pelanggan berat," sambungnya.
Kasus 98 juga sudah jadi sorotan dunia dan banyak dokumen-dokumen yang mencatat ihwal peristiwa itu.
Sehingga pernyataan Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra ihwal kasus 98 tidak masuk dalam kategori pelanggaran berat, tak akan mengubah apapun.
"Bisa dicek tuh ke dokumen-dokumen Perserikatan Bangsa-Bangsa dan segala macam laporan Hak Asasi Manusia Internasional tentang apa yang terjadi tahun 98," tuturnya.
"Jadi kalau sekarang seorang Menteri Koordinator menyatakan hal seperti itu, tidak membuat itu jadi hilang. Yang berhak untuk mengatakan ada atau tidaknya pelanggan-pelanggan berat adalah Pengadilan HAM, bukan seorang Menteri Koordinator," pungkas Bibip.
Sebagai informasi, Yusril sudah membuat pernyataan kontroversi di hari pertamanya menjadi menteri dalam Kabinet Merah Putih usai dilantik di Istana Merdeka.
Yusril mengatakan tidak ada kasus pelanggaran HAM berat di Tanah Air dalam beberapa puluh tahun terakhir.
"Pelanggaran HAM berat itu kan genosida, ethnic cleansing. Mungkin terjadi justru pada masa kolonial, pada waktu awal kemerdekaan kita, 1960-an," katanya.