"Dalam konteks ini, jelas dan nyata terjadi pelanggaran HAM, menyangkut hak – hak dalam proses hukum serta tidak ada hak – hak yang didengar sesuai dengan asas Audi et Alteram Partem (mendengarkan dua belah pihak)," ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Ahli Pidana Universitas Trisakti, Maria Silvya Elisabeth Wangga selaku ahli dari Pemohon juga menyampaikan, due process of law lahir dari pengakuan HAM sebagai tercantum dalam magna carta. Proses peradilan harus dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan dengan tidak membeda-bedakan.
"Pemeriksaan dilakukan dalam keadaan bebas, memiliki asas praduga tidak bersalah, dan didampingi penasehat hukum. Sehingga ketika tidak didampingi penasehat hukum dalam pemeriksaan, maka itu bertentangan due process of law. Jadi, adanya pelanggaran prosedur," ungkapnya.
Merujuk KUHAP mengenai hak tersangka, ketika dimulainya penyidikan sebagaimana Putusan MK 130 Tahun2014, penyidik wajib memberitahukan SPDP kepada pelapor, korban, dan terlapor dalam waktu 7 hari hari sejak penyidikan. Sebelum diperiksa sebagai tersangka, terlapor atau calon tersangka harus diberitahu terlebih dahulu, yang kegunaannya untuk menyiapkan pembelaan.
"Jika proses tersebut terlewatkan, maka diajukan praperadilan. Jika penetapan tersangka atau pemeriksaan tersangka yang tidak sesuai dengan prosedur, maka itu mengandung kecacatan," ujar Maria.
Baca juga: 9 Anggota Provos Sudah Turun, Polda NTT Batal Tangkap Ipda Rudy Soik di Rumahnya, Ini Alasannya
Sebelumnya, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Daerah Khusus Jakarta menetapkan tiga orang tersangka dalam perkara dugaan Tindak Pidana Korupsi (TPK) dalam pengelolaan keuangan PT Indofarma Tbk dan anak perusahaan periode 2020-2023. Perbuatan para tersangka ditaksir merugikan keuangan negara hingga Rp371 miliar.
Ketiga tersangka itu yakni AP selaku Direktur Utama PT Indofarma Tbk tahun 2019-2023, GSR selaku Direktur PT Indofarma Global Medika (PT IGM) tahun 2020-2023, dan CSY selaku Head of Finance PT IGM tahun 2019-2021 .