News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Korupsi di PT Timah

Ahli Hukum Pertambangan & Lingkungan Sebut Aktivitas Tambang Ilegal Bisa Dijerat 10 Tahun Penjara

Penulis: Fahmi Ramadhan
Editor: Dewi Agustina
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Jaksa Penuntut Umum menghadirkan 3 saksi dalam sidang lanjutan kasus korupsi timah dengan terdakwa Harvey Moeis Cs di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (24/10/2024).

Laporan Wartawan Tribunews.com, Fahmi Ramadhan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan Saksi Ahli dalam sidang lanjutan kasus korupsi tata niaga timah dengan terdakwa Harvey Moeis, Direktur Utama PT Refined Bangka Tin Suparta, dan Direktur Pengembangan Usaha PT RBT Reza Ardiansyah di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (24/10/2024).

Adapun salah satu saksi ahli yang dihadirkan Jaksa yakni Ahli Hukum Pertambangan dan Lingkungan, Ahmad Redi.

Baca juga: Bantah Terkait Kasus Timah, Sandra Dewi Jelaskan Perihal Transfer Rp 3,15 Miliar dari Harvey Moeis

Pada kesaksiannya, Redi awalnya menjelaskan soal nilai kerugian negara yang dihitung menggunakan dasar dari Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Permen LH) Nomor 7 Tahun 2014 yang merupakan turunan dari UU 32 Tahun 2014.

Menurut dia, kerusakan lingkungan yang terjadi dalam sektor pertambangan masuk dalam kategori hukum perdata.

"Bab kerugian lingkungan bahwa pemerintah dapat menghitung kerugian, dalam konteks kerugian ini Perdata sebenarnya, kalau kita bicara secara normatif. Tapi bahwa itu bisa dijadikan instrumen untuk menghitung jadi sebagai pedoman," jelas Redi.

Sesuai dengan aturannya, lanjut Redi, Permen LH tersebut mengatur perhitungan soal ganti rugi dalam kerusakan lingkungan dari aktivitas yang dilakukan.

"Jadi memang Permen LH ini kalau dilihat konsideran menimbangnya itu adalah ya tadi konteksnya adalah konteks penghitungan ganti rugi," ucapnya.

Mendengar pernyataan itu, kemudian Ketua Majelis Hakim Eko Aryanto bertanya pada Redi apakah kepemilikan timah milik PT Timah bisa diklaim saat masih di dalam tanah atau ketika sudah diekspor dan bayar royalti.

"Bisa dinyatakan Bahwa itu punya PT Timah pada saat masih jadi kandungan atau setelah mau diekspor dengan catatan sudah membayar royalti," tanya Hakim Eko.

Baca juga: Eks Dirut PT Timah Akui Pembentukan Perusahaan Boneka Penyuplai Bijih Timah Usulan 5 Smelter Swasta

Mendengar pertanyaan Hakim, Redi pun menjelaskan, ihwal kepemilikan hasil tambang sebelum adanya royalti yang dibayarkan oleh penambang masih merupakan milik negara.

Kata dia hal itu tertuang dalam peraturan Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) Pasal 93.

"Di Undang-Undang Minerba di Pasal 93 diatur peralihan kepemilikan mineral logam, sebut saja timah itu (kepemilikannya) sejak membayar royalti, sebelum membayar royalti itu hak punya negara," jawab Redi.

Selain itu, Redi juga menjelaskan, terkait mengenai pihak yang berwenang untuk melakukan penegakan hukum mengenai tindak pidana pertambangan.

Persidangan kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015-2022 kembali berlanjut di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (24/10/2024) (TRIBUNNEWS)

Dalam UU Minerba kata dia, aparat penegak hukum (APH) yang berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan pidana pertambangan adalah pihak kepolisian.

"Di UU Minerba pasal 158 itu dalam konteks penegakan hukum pidana pertambangan tentu kalau bicara mengenai hukum acara ya dia masuk ke penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian," jelasnya.

Aturan tersebut juga mengatur sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana pertambangan.

"Pasal 158 itu kan bunyi setiap orang yang melakukan penambangan tanpa izin itu diancam pidana 10 tahun dan Rp 100 miliar," pungkasnya.

Sebagai informasi, berdasarkan surat dakwaan jaksa penuntut umum, kerugian keuangan negara akibat pengelolaan timah dalam kasus ini mencapai Rp 300 triliun.

Perhitungan itu didasarkan pada Laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara di kasus timah yang tertuang dalam Nomor: PE.04.03/S-522/D5/03/2024 tertanggal 28 Mei.

Kerugian negara yang dimaksud jaksa, di antaranya meliputi kerugian atas kerja sama penyewaan alat hingga pembayaran bijih timah.

Tak hanya itu, jaksa juga mengungkapkan, kerugian negara yang mengakibatkan kerusakan lingkungan nilainya mencapai Rp 271 triliun. Hal itu sebagaimana hasil hitungan ahli lingkungan hidup.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini