TRIBUNNEWS.COM - Kuasa hukum mantan Menteri Perdagangan (Mendag) Tom Lembong, Ari Yusuf Amir, membeberkan materi pemeriksaan terhadap kliennya saat diperiksa sebagai tersangka kasus korupsi impor gula di Kantor Kejaksaan Agung (Kejagung), Jakarta, Jumat (1/11/2024), hari ini.
Ari menuturkan penyidik sempat menanyakan terkait kebijakan yang dikeluarkan Tom Lembong semasa menjabat sebagai Mendag pada Agustus 2015-Juli 2016.
"Dalam kaitan pemeriksaan tadi, di sana masih ditanyakan terkait kebijakan-kebijakan, surat-surat yang dikeluarkan oleh Pak Tom Lembong," katanya, Jumat, dalam program Kompas Petang di YouTube Kompas TV.
Lalu, Ari menyebut Tom Lembong menjelaskan kebijakan-kebijakan yang diterbitkan di masa kepemimpinannya di Kemendag hanya melanjutkan dari menteri sebelumnya.
"Prosesnya juga dijelaskan bahwa proses itu dari bawah, diajukan ke atas. Setelah dia paraf, di-acc di bawah naik ke beliau, terus dipelajari baru beliau (Tom Lembong) tandatangani," tuturnya.
Ari mengungkapkan pemeriksaan terhadap Tom Lembong belum sampai pada kasus impor gula yang membuatnya ditetapkan menjadi tersangka oleh Kejagung.
Dia kembali menegaskan, pemeriksaan masih sebatas kebijakan yang diterbitkan Tom Lembong sebagai Mendag.
Tom Lembong, kata Ari, mengungkapkan izin impor gula yang diterbitkannya semata-mata karena Indonesia membutuhkan pasokan gula pada saat itu.
Sehingga, dia memutuskan untuk mengizinkan dilakukannya impor gula lewat PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (Persero) atau PPI.
Baca juga: Publik Tuding Ada Politisasi Hukum Pada Penetapan Tersangka Tom Lembong, Begini Respon Sekjen NasDem
Tom Lembong, juga disebut oleh Ari, membantah memperoleh fee dari penunjukkan PT PPI sebagai perusahaan BUMN yang berhak melakukan impor gula.
"Dia tegaskan sama sekali tidak. Saya tidak ada kepentingan pribadi. Saya hanya melaksanakan tugas saya dan kondisi saat itu membutuhkan itu (impor gula), saya lakukan sesuai prosesnya."
"Dan saya tidak menerima fee apapun dan tidak menguntungkan siapapun karena beliau juga tidak mengenal pihak-pihak yang ditunjuk tersebut," kata Ari.
Lebih lanjut, Ari menyayangkan sikap Kejagung yang langsung menahan Tom Lembong karena menurutnya, kliennya tersebut bersikap kooperatif.
Selain itu, imbuhnya, Tom Lembong sudah tidak memiliki kuasa jika ingin menghilangkan barang bukti terkait kasus impor gula ini lantaran sudah tidak menjabat sebagai Mendag.
"Status beliau yang kooperatif ini mungkin sebaiknya dipertimbangkan oleh pihak kejaksaan. Sehingga, ini mengagetkan bagi beliau ketika beliau dipanggil menjadi saksi lalu tiba-tiba berubah di tempat itu menjadi tersangka lalu dilakukan penahanan," tuturnya.
Sebelumnya, Tom Lembong menjalani pemeriksaan perdana sebagai tersangka dalam kasus korupsi impor gula pada Jumat pagi.
Adapun hal ini dibenarkan oleh Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kaspunpenkum) Kejagung, Harli Siregar.
"Sudah cek, (Tom Lembong) hari ini diperiksa kembali," katanya.
Tak cuma Tom Lembong, Direktur PT PPI sekaligus tersangka lain, Charles Sitorus turut diperiksa.
Namun, Harli enggan mengungkapkan materi pemeriksaan terhadap Tom Lembong dan Charles Sitorus.
Duduk Perkara Tom Lembong Jadi Tersangka Kasus Impor Gula
Sebelumnya, Kejagung menetapkan Tom Lembong sebagai tersangka kasus dugaan korupsi impor di Kementerian Perdagangan (Kemendag) pada tahun 2015-2016.
Direktur Penyidikan (Dirdik) Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, menuturkan duduk perkara penetapan tersangka Tom Lembong berawal ketika pada 2015, Indonesia dinyatakan surplus gula sehingga tidak perlu dilakukan impor.
Namun, Qohar mengatakan Tom Lembong yang saat itu menjabat sebagai Mendag justru tetap mengizinkan adanya impor gula ke PT AP.
"Di tahun yang sama yaitu tahun 2015, Menteri Perdagangan yaitu Saudara TTL memberikan izin persetujuan impor gula kristal mentah sebanyak 105.000 ton kepada PT AP yang kemudian gula kristal mentah tersebut diolah menjadi gula kristal putih (GKP)," kata Qohar dalam konferensi pers di Kantor Kejagung, Jakarta, Selasa (29/10/2024).
Qohar mengungkapkan izin impor gula yang diterbitkan oleh Tom Lembong justru diberikan kepada PT AP yang notabene adalah bukan perusahaan milik BUMN.
Padahal, merujuk pada peraturan Mendag dan Menperin, perusahaan yang diizinkan untuk mengimpor gula adalah perusahaan milik BUMN.
Baca juga: Kejagung Dinilai Salah Tersangkakan Tom Lembong karena Dianggap Langgar Kepmenperindag Tahun 2004
Tak cuma itu, Qohar juga menyebut izin impor gula dari Tom Lembong itu tidak diputuskan lewat rapat koordinasi (rakor) dengan instansi terkait dan tanpa rekomendasi dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin).
Qohar menuturkan lalu ada rapat bersama dengan kementerian di bawah Kemenko Perekonomian yang salah satunya membahas terkait kurangnya cadangan gula pada tahun 2016 sebanyak 200.000 ton.
Lalu, pada November 2016, Tom Lembong memerintahkan Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI berinisial CS memerintahkan setiap manajer untuk melakukan pertemuan dengan 8 perusahaan swasta yang bergerak di bidang produksi gula.
"Padahal dalam rangka pemenuhan kondisi harga, harusnya yang diimpor adalah gula kristal putih secara langsung yang dapat melakukannya hanya (perusahaan) BUMN," jelas Qohar.
Selain melanggar soal regulasi perizinan, Qohar juga menyebut perusahaan yang diizinkan Tom Lembong untuk mengimpor gula bukan merupakan produsen gula kristal putih, melainkan produsen gula rafinasi.
"Setelah kedelapan perusahaan tersebut mengimpor dan mengelola, kemudian PT PPI seolah-olah membeli gula tersebut, padahal senyatanya gula tersebut dijual oleh perusahaan swasta ke pasaran atau ke masyarakat melalui distributor yang terafiliasi dengannya dengan harga Rp16.000 per kg."
"Yaitu harganya lebih tinggi dari HET yaitu Rp13.000 dan tidak dilakukan operasi pasar," jelas Qohar.
Dari perizinan itu, Qohar menuturkan PT PPI memperoleh fee Rp105 rupiah per kg dari 8 perusahaan tersebut.
Qohar mengatakan perbuatan Tom Lembong ini mengakibatkan negara mengalami rugi mencapai Rp400 miliar.
Kini, Tom Lembong ditahan selama 20 hari ke depan di Rutan Salemba cabang Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan.
Tom Lembong dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto/Ilham Rian Pratama)
Artikel lain terkait Kasus Impor Gula