Di sisi lain, para pemilik lahan yang lokasinya berada di wilayah IUP PT Timah tetap mendapatkan hak ekonomi atas lahan yang mereka miliki.
Selanjutnya, Alwin menceritakan alasan mengapa PT Timah kala itu menggandeng smelter swasta dalam memproses bijih timah yang diproduksi penambang rakyat.
"Karena biaya pengolahannya lebih murah," sebut dia.
Pernyataan Alwin sejalan dengan keterangan saksi dalam beberapa persidangan sebelumnya, yakni soal biaya yang harus dibayarkan PT Timah ke smelter swasta total sebenarnya adalah US$ 4.000/Ton. Biaya itu termasuk peleburan, pengangkutan dan biaya lainnya.
Sementara, untuk komponen biaya yang sama, total biaya yang harus dikeluarkan PT Timah untuk melakukan produksi adalah mencapai US$ 6.000/ton.
Adapun Alwin menegaskan, seluruh aktivitas dan keputusan bisnis yang diambil direksi dan pejabat PT Timah kala itu sudah sesuai dengan aturan yang berlaku dan dalam pengawasan lembaga berwenang dalam hal ini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
"Intinya waktu tahun 2022 itu, semua temuan sudah (sesuai). Kecuali ada 3 piutang PT Timah dan anak usaha. Selebihnya sudah sesuai dengan rekomendasi BPK," tandas dia.
Baca juga: Korupsi Timah, Harvey Moeis Sebut Dana CSR Ratusan Miliar Disimpan di Brankas dan Ludes Saat Pandemi
Sebagai informasi, berdasarkan surat dakwaan jaksa penuntut umum, kerugian keuangan negara akibat pengelolaan timah dalam kasus ini mencapai Rp 300 triliun.
Perhitungan itu didasarkan pada Laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara di kasus timah yang tertuang dalam Nomor: PE.04.03/S-522/D5/03/2024 tertanggal 28 Mei.
Kerugian negara yang dimaksud jaksa, di antaranya meliputi kerugian atas kerja sama penyewaan alat hingga pembayaran bijih timah.
Tak hanya itu, jaksa juga mengungkapkan, kerugian negara yang mengakibatkan kerusakan lingkungan nilainya mencapai Rp 271 triliun. Hal itu sebagaimana hasil hitungan ahli lingkungan hidup.