“Itu yang tidak bisa karena dari dulu kita sudah menolak hal itu. Kami tetap ingin agar perkara ini lanjut, supaya terang benderang mana yang hitam, mana yang putih,” lanjutnya.
Dengan demikian, pihaknya berkeinginan agar perkara tersebut tetap berlanjut melalui proses persidangan.
“Kalau kita tidak lanjutkan dalam proses persidangan dengan alasan kita sudah berdamai akhirnya kan tidak kelihatan mana yang hitam, mana yang putih, mana yang benar, mana yang salah,” lanjutnya.
“Karena tujuan kami di akhir apa, kalau Ibu Supriyani terbukti tidak bersalah, berarti kan ada yang salah melakukan rekayasa. Ada yang bersalah melakukan kriminalisasi.”
“Kami ingin mereka bertanggungjawab baik secara etik maupun pidana. Itu clear dari kami,” kata Andri menambahkan.
Dia pun mempertanyakan kenapa jelang persidangan hingga tahap sidang, berbagai pihak justru baru mau mendamaikan.
“Makanya ini kan menjadi pertanyaan kita. Kenapa dalam tahap persidangan baru semua orang seakan-akan menjadi tokoh perdamaian, duta perdamaian,” jelasnya.
“Yang dulu mana? Kenapa baru mau muncul sekarang sebagai duta perdamaian, tokoh perdamaian. Membawa pernyataan itu ke pengadilan, ya itu nggak ada gunanya,” ujarnya menambahkan.
Andri Darmawan pun mempertanyakan hal senada kepada keluarga korban yang belakangan ini baru getol berdamai.
“Makanya ini saya tanyakan kembali kepada keluarga korban, kok sekarang ini menjadi mulia sekali hatinya. Berinisiatif untuk datang damai, apa-apa semua,” katanya.
“Dulu-dulu waktu di tingkat penyidikan kepolisian luar biasa itu ibu, Lima kali ibu datang, ibu Supriyani bersama suaminya, datang menangis apa semua.”
“Diulur-ulur kasih saya waktu. Ini sekarang seakan-akan muncul yang paling inilah, tokoh perdamaian. Mulia sekali, ada apa? Setelah semua fakta-fakta terbuka di persidangan kenapa baru ingin muncul,” lanjutnya.
Diapun berharap semua pihak menunggu hasil putusan persidangan yang sudah bergulir di pengadilan.
“Jadi sekarang saya cuman ingin katakan hentikan semua orang yang mau menjadi juru damai. Tokoh damai. Hentikan itu, tidak ada gunanya lagi,” jelasnya.
“Kita tunggu saja fakta semua persidangan terbuka dan kita tunggu putusan. Selesai. Tidak usah ada lagi yang bertindak sebagai juru damai, tokoh damai,” ujarnya.
Respons PGRI Sulawesi Tenggara
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulawesi Tenggara menanggapi keputusan Pemda Konawe Selatan yang memberikan somasi ke Supriyani karena mencabut pernyataan surat damai.
Ketua PGRI Sultra, Abdul Halim Momo mengatakan, seharusnya surat somasi tidak perlu dilayangkan Pemda Konsel ke Supriyani.
Apalagi kondisi Supriyani sebagai guru honorer yang sudah mengabdi selama 16 tahun mendidik siswa di Konawe Selatan seharusnya tidak layak disomasi pemda.
"Saya kira akan menjadi preseden buruk nantinya karena disitu atas nama pemerintah daerah bukan bupati, mensomasi seorang guru honorer yang sudah mengabdi 16 tahun dengan gaji Rp300 ribu," ungkapnya saat dikonfirmasi, Jumat (08/11/2024).
Menurut Halim, seharusnya Pemda mengambil langkah untuk memaafkan Supriyani ketimbang memberikan somasi.
Terlebih kondisi yang saat ini dihadapi Supriyani sedang memperjuangkan haknya di hadapan hukum.
Tentunya keputusan Supriyani mencabut surat damai didasari adanya pertimbangan.
Selain itu pemda juga harus memahami kondisi saat ini dialami Supriyani setelah kasusnya bergulir di persidangan.
"Kalau menurut secara logika tidak mungkin seorang guru honorer bisa mengecewakan pemda atau bupati. Sehingga harus dilihat juga alasannya," kata Halim.
"Sehingga menurut saya somasi itu akan jadi preseden buruk, saya kira kalau memaafkan rakyatnya akan lebih mulia," lanjutnya.
Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Halu Oleo Kendari ini menyampaikan PGRI akan terus memperjuangkan Supriyani bisa bebas dari kasus tersebut. (*)