Resesi Seks
Istilah "resesi seks" pertama kali dipopulerkan oleh Kate Julian dalam artikel di The Atlantic yang menjelaskan bahwa generasi muda Amerika Serikat saat ini berhubungan seks lebih sedikit dibandingkan generasi sebelumnya.
Fenomena ini diduga terjadi karena berbagai faktor, termasuk budaya hookup, tekanan ekonomi, kecemasan yang tinggi, perubahan psikologis, maraknya vibrator, penggunaan antidepresan yang meluas serta faktor teknologi dan media sosial yang menambah distraksi dalam hubungan antarindividu.
Televisi streaming, porno digital, dan aplikasi kencan adalah satu dari sekian banyak faktor-faktor teknologi yang mempengaruhi gaya hidup tanpa anak ini.
Sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Drajat Tri Kartono, pernah menyampaikan kepada Kompas.com bahwa resesi seks di Indonesia dapat terjadi apabila generasi muda saat ini atau yang akan datang memilih hidup sendiri.
Ia menjelaskan keinginan untuk hidup seorang diri muncul karena orang merasa tidak dibebani dengan tanggung jawab pada pasangan bahkan anak
Angka Pernikahan Menurun
Angka pernikahan di Indonesia juga mengalami penurunan signifikan sebesar 128 ribu dibandingkan tahun 2022, dengan total 1,6 juta pernikahan pada tahun lalu, menurut data BPS.
Penurunan ini tercatat terjadi di hampir semua provinsi, menandakan fenomena yang bersifat nasional.
BPS melaporkan bahwa penurunan angka pernikahan di DKI Jakarta mencapai 4.000, di Jawa Barat turun sebanyak 29 ribu, Jawa Tengah 21 ribu, dan Jawa Timur sekitar 13 ribu.
Secara keseluruhan, jumlah pernikahan di Indonesia turun 28,63 persen dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, yang merupakan level terendah dalam satu dekade.
Bagong Suyanto, Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, mengaitkan penurunan ini dengan meningkatnya kemandirian perempuan.
“Angka itu turun karena kesempatan perempuan untuk bersekolah dan bekerja semakin terbuka lebar. Ketergantungan perempuan juga menurun,” ungkapnya akhir pekan lalu, dilansir dari laman resmi UNAIR.
Menurut Bagong, akses pendidikan yang lebih luas bagi perempuan membuat mereka cenderung fokus pada pendidikan atau karier, sehingga tidak merasa tergesa-gesa untuk menikah.