“Perempuan dengan pendidikan dan karier yang stabil memiliki kecenderungan untuk menikah di usia yang lebih matang, atau bahkan merasa bahwa mereka tidak perlu menikah untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka,” jelasnya.
Ike Herdiana, Pakar Psikologi Pemberdayaan Masyarakat Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, menambahkan bahwa meningkatnya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan perselingkuhan yang terekspos melalui media sosial turut mengikis kepercayaan generasi muda terhadap institusi pernikahan.
“Maraknya kasus perselingkuhan dan KDRT yang mudah diakses melalui media sosial telah mengikis kepercayaan Gen Z terhadap institusi pernikahan. Terakhir, munculnya gaya hidup bebas dan mandiri, salah satunya menormalisasi hubungan tanpa pernikahan, semakin meningkatkan anggapan Gen Z untuk menunda pernikahan,” ujarnya, dikutip dari GoodStats.
Perubahan nilai budaya dan pandangan generasi muda terhadap pernikahan juga menjadi faktor lain di balik penurunan ini.
Jika sebelumnya pernikahan dianggap sebagai keharusan dalam siklus kehidupan seseorang, kini generasi muda cenderung lebih fleksibel dalam memandang pernikahan dan tidak lagi menjadikannya prioritas utama.
Kesadaran yang semakin tinggi akan pentingnya kesejahteraan mental dan emosional dalam memilih pasangan hidup turut memperkuat perubahan perspektif ini di Indonesia.
Sumber: CNA/Kompas.com