News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Polisi Tembak Polisi

Rekam Jejak Kapolda Sumbar Suharyono: Dikritik di Kasus Afif, Didesak Dicopot Imbas Kasus Tambang

Penulis: Yohanes Liestyo Poerwoto
Editor: Nuryanti
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Kapolda Sumbar Suharyono kerap menjadi perbincangan publik dalam kasus yang menjadi sorotan. Setelah kasus Afif, kini di kasus polisi tembak polisi.

TRIBUNNEWS.COM - Kapolda Sumatera Barat, Irjen Suharyono tengah menjadi sorotan buntut adanya kasus polisi tembak polisi yang melibatkan tersangka yakni Kabag Ops Polres Solok Selatan, AKP Dadang Iskandar dan korban yaitu Kasat Reskrim Polres Solok Selatan, Kompol (Anumerta) Ryanto Ulil Anshari.

Sorotan terhadap Suharyono tidak hanya terkait kasus polisi tembak polisi saja, tetapi juga soal adanya isu bahwa tindakan Dadang Iskandar terhadap Ryanto buntut adanya dugaan membekingi tambang ilegal galian C di Solok Selatan.

Imbasnya, dia pun turut didesak agar mengundurkan diri dari jabatannya.

Adapun pihak yang mendesak adalah Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) Sumbar.

Ketua PBHI Sumbar, Ihsan Riswandi, mengungkapkan bahwa Suharyono tidak mampu mengemban tugas sebagai Kapolda Sumbar.

"Tindakan penembakan ini diduga kuat dilatarbelakangi oleh ketidaksenangan oknum polisi atau pihak-pihak tertentu dalam penegakan hukum terhadap kejahatan lingkungan," ungkap Ihsan melalui keterangan tertulis pada Sabtu (23/11/2024).

"(Kedua), Kapolri copot Kapolda Sumbar karena dinilai tidak mampu memimpin tubuh Polda Sumbar dengan baik dan benar!" tekannya.

Tak cuma itu, Ihsan juga mendesak agar Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk memeriksa Kapolda Sumbar terkait dugaan kejahatan lingkungan baik legal maupun ilegal di wilayah hukum Polda Sumbar.

Lebih lanjut, Ihsan juga menganggap penembakan ini menjadi wujud adanya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap seseorang.

Baca juga: Berduka atas Kematian Kompol Ryanto Ulil Anshar, Brigjen Elphis: Polri Kehilangan Aset yang Berharga

Secara khusus, dia juga menilai kasus Dadang menembak mati Ryanto menjadi bukti kecurigaan masyarakat bahwa polisi membekingi tambang ilegal di Sumbar benar adanya.

"Dengan adanya penembakan dalam kasus ini mengkonfirmasi bahwa kecurigaan-kecurigaan masyarakat terhadap adanya keterlibatan Polisi dalam membackingi aktivitas pertambangan di Sumatera Barat baik legal maupun ilegal, patut diduga keras benar adanya," ungkap Ihsan.

Suharyono Dikritik usai Bakal Cari Orang yang Viralkan Afif Tewas Disiksa Polisi

Sorotan terhadap Suharyono tidak hanya terkait kasus ini saja. Dia juga sempat disorot dalam kasus besar yaitu tewasnya bocah SMP berusia 13 tahun bernama Afif Maulana yang jasadnya ditemukan di bawah Jembatan Kuranji, Kota Padang, pada 9 Juni 2024 lalu.

Sekilas informasi, kasus tewasnya Afif ini menjadi perbincangan publik lantaran adanya dugaan dirinya meregang nyawa buntut disiksa polisi.

Pada saat itu, Suharyono menuturkan bakal mencari orang yang menarasikan tewasnya Afifi buntut disiksa oleh polisi.

"Dia harus (beri) testimoni, 'Apakah kamu benar melihat (kejadian), kamu kok ngomong begitu? Kamu, kan, sudah trial by the press, menyampaikan ke pers sebelum fakta yang sebenarnya cukup bukti atau tidak, atau kamu hanya asumsi dan ngarang-ngarang," jelasnya pada 26 Juni 2024.

Pernyataan Suharyono itu pun berbuntut kritik keras dari berbagai pihak yaitu Komnas HAM, Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso, dan pakar psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel.

Komisioner Komnas HAM, Hari Kurniawan mengungkapkan pernyataan Suharyono yang akan mencari orang yang memviralkan Afif tewas karena disiksa polisi adalah intimidatif.

"Ya ini bentuk intimidasi," katanya dalam konferensi pers di Kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat pada 25 Juni 2024 lalu, dikutip dari Kompas.com.

Hari mengatakan langkah Polda Sumbar tersebut membuat keluarga korban ketakutan, termasuk 18 korban penganiayaan lainnya yang masih hidup.

Layar menampilkan foto Afif Maulana saat update temuan dan proses advokasi terkait penyiksaan berujung kematian anak berstatus pelajar, Afif Maulana di Kantor YLBHI, Jakarta, Selasa (2/7/2024). (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)

Dia mengungkapkan keluarga korban bakal merasa takut karena anaknya kemungkinan akan diproses hukum lantaran dianggap mendiskreditkan citra kepolisian.

Selain itu, Hari juga menambahkan adanya intimidasi itu bakal memengaruhi psikologi para korban.

Hal ini, imbuhnya, turut memengaruhi keterangan dari para korban karena merasa ketakutan.

"Bahkan (akibat intimidasi) bisa jadi nanti keterangan A jadi berubah jadi B. Ini yang kita minta upaya kami supaya segera mungkin untuk memberikan surat perlindungan bagi korban," kata dia.

Ketua IPW, Sugeng Teguh Santoso meminta agar Polda Sumbar tidak resisten atau menentang kritik masyarakat terkait adanya dugaan tewasnya Afif karena disiksa polisi.

Sugeng mengatakan narasi adanya dugaan polisi menyiksa AM menjadi bentuk kritik agar kepolisian bekerja sesuai dengan aturan.

"Polisi tidak boleh resisten terhadap kritik masyarakat seperti yang disampaikan di medsos bahwa diduga korban mati karena dianiaya polisi, itu adalah salah satu bentuk kritik kepada Polri agar aparaturnya bekerja menurut aturan undang-undang dan HAM," katanya kepada Tribunnews.com, Senin (24/6/2024).

"Jadi jangan diserang orang yang mengkritik lewat medsos," sambungnya.

Sementara, pakar psikologi forensik, Reza Indragiri mengungkapkan pernyataan Suharyono itu dianggapnya bisa memunculkan persepsi upaya menutup-nutupi kesalahan anak buahnya.

"Kapolda juga perlu ekstra hati-hati dalam mengeluarkan pernyataan. Pernyataan yang terkesan defensif akan sangat berisiko dinilai sebagai cara menutup-nutupi kesalahan sejawat atau silence wall atau curtain code," katanya dalam keterangan tertulis pada 24 Juni 2024.

Reza mengatakan seharusnya Polda Sumbar menginisiasi dilakukannya eksiminasi dengan melibatkan masyarakat guna menjembatani komunikasi dengan publik.

Baca juga: Penampakan Pistol yang Digunakan AKP Dadang Iskandar Tembak AKP Ryanto Ulil dan Rumah Dinas Kapolres

Menurutnya, hal yang perlu dieksiminasi salah satunya adalah kemungkinan adanya implisit bias atau prasangka anggota polisi terhadap kelompok tertentu.

"Akibat implisit bias, polisi bisa punya kewaspadaan bahkan kecurigaan eksesif terhadap situasi tertentu. Misalnya begitu melihat kerumunan orang di malam hari, polisi langsung mengasosiasikannya sebagai ancaman bahkan bahaya," tuturnya.

Sebagai informasi, penyebab tewasnya Afif pun akhirnya terungkap di mana bocah tersebut meninggal dunia bukan akibat dianiaya tetapi terjatuh dari ketinggian 14,7 meter.

Hal ini disampaikan oleh Ketua TIm Ekshumasi Perhimpunan Dokter Forensik Medikolegal Indonesia (PDFMI), Ade Firmansyah.

Meskipun pada saat itu Afif ditolong, menurutnya, kemungkinan hidupnya pun sangat kecil. "

Dari hasil penelusuran kami, penyebab kematian almarhum adalah cedera berat di beberapa area, terutama di bagian pinggang, punggung, dan kepala, yang menyebabkan patah tulang di bagian belakang kepala dan luka serius pada otak,” ungkapnya dalam keterangan resmi pada 26 September 2024.

(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto/Wahyu Gilang Putranto)(Kompas.com/Syakirun Ni'am)

Artikel lain terkait Polisi Tembak Polisi

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini