TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hakim Tunggal Tumpanuli Marbun telah menolak permohonan praperadilan yang diajukan oleh mantan Menteri Perdagangan (Mendag) Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong).
Atas hal itu, hakim menyatakan penetapan tersangka yang dilakukan Kejaksaan Agung (Kejagung) terhadap Tom Lembong sah alias sesuai aturan.
Hal itu disampaikan hakim tunggal Tumpanuli Marbun pada persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (26/11/2024).
"Oleh karena permohonan tersebut ditolak. Alat bukti lainnya tidak perlu lagi dipertimbangkan," tegas hakim.
Kejagung Lanjutkan Penyidikan Kasus Tom Lembong
Kejaksaan Agung (Kajagung) memastikan bakal melanjutkan proses penyidikan kasus impor gula setelah Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak praperadilan penetapan tersangka Tom Lembong.
Menyusul putusan tersebut, Kapuspenkum Kejagung RI, Harli Siregar mengatakan penetapan tersangka yang dilakukan pihaknya terhadap Tom Lembong telah sesuai aturan.
Sehingga, kata dia, penetapan tersangka dan penahanan terhadap Tom Lembong sah.
Tak hanya itu, Harli juga memastikan, setelah adanya putusan Pengadilan, pihaknya akan kembali melanjutkan proses penyidikan terhadap Tom Lembong di kasus impor gula.
"Berarti penetapan tersangka sah, penahanan sah dan penyidikan dilanjutkan," kata Harli saat dikonfirmasi, Selasa (26/11/2024).
Bantah Anggapan Kriminalisasi Tom Lembong
Direktur Penuntutan Jampidsus Kejagung Sutikno membantah anggapan pengusutan perkara impor gula kepada Tom Lembong merupakan kriminalisasi.
Sutikno menjelaskan perkara tersebut sudah berdasarkan bukti yang ada.
"Pada hari ini, putusan praperadilan perkara atas nama Tom Lembong."
"Kita semuanya sudah mendengar keputusan hakim tunggal yang disampaikan rigid dan rinci terhadap proses dan pelaksanaan kegiatan yang kita lakukan," kata Sutikno kepada awak media di PN Jakarta Selatan, Selasa (26/11/2024).
Ia melanjutkan mulai dari penyelidikan, tahapan-tahapan, laporan hasil kegiatan, ekspos, penerbitan sprindik umum, penelitian alat bukti lagi, kemudian penetapan tersangka.
"Kita sudah lakukan semuanya sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan tentunya sudah sesuai dengan SOP Kejaksaan."
"Makanya sejak dari awal kami sebenarnya yakin sekali pra-peradilan yang diajukan ini pasti akan ditolak," jelasnya.
Atas hal itu Kejagung membantah pihaknya mengkriminalisasi Tom Lembong atas perkara impor gula.
"Pada kesempatan ini kita sampaikan seolah-olah kami ini seperti mengkriminalkan."
"Tapi tahapan-tahapan kita lakukan dan fakta-fakta itu diterangkan semuanya bukan oleh kita. Tetapi oleh alat bukti yang ada," tegasnya.
Kuasa Hukum Keberatan Pertimbangan Hakim
Kuasa Hukum Tom Lembong, Zaid Musafi menyampaikan keberatannya terhadap beberapa pertimbangan hakim dalam putusan praperadilan kliennya.
"Keberatan kami mencakup beberapa poin penting yang menunjukkan adanya ketidakadilan dalam proses hukum yang sedang berlangsung," kata Zaid dalam keterangannya, Selasa (26/11/2024).
Ia melanjutkan pihaknya menyoroti makna dan fungsi praperadilan telah diperluas oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Namun, hal ini tidak dipertimbangkan secara menyeluruh oleh hakim.
Kaitannya dengan dua alat bukti yang cukup, menurut putusan MK dijelaskannya seharusnya dapat diuraikan penyidik sebagai bukti awal yang terang dan berkaitan.
Sehingga, bisa menetapkan seseorang sebagai tersangka.
"Hakim praperadilan seharusnya dapat menilai kualitas bukti tersebut, bukan hanya formalitasnya saja," tegasnya.
Selain itu, dikatakan Zaid pihaknya juga mencatat hakim masih menggunakan paradigma lama mengenai makna praperadilan dan tidak memperbarui pemahaman terhadap putusan MK yang pihaknya ajukan.
"Dalam konteks pemberlakuan hukum tindak pidana korupsi (Tipikor), seharusnya fokus tidak hanya pada potensi kerugian, tetapi pada kerugian yang sebenarnya terjadi," kata Zaid.
Perubahan kata dapat dalam UU Nomor 20 Tahun 2001, dijelaskannya menunjukkan bahwa hukum harus lebih tegas dan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan yang terkandung dalam UUD 1945.
Dalam hal ini, penyidik tidak memiliki satu pun bukti terhadap kerugian negara dari lembaga mana pun.
"Kami juga menggarisbawahi bahwa pencantuman kata dapat dalam Pasal 2 Ayat 1 dan Pasal 3 UU Tipikor menciptakan ketidakpastian hukum yang dapat merugikan banyak pihak. Hukum harus jelas dan tidak membingungkan bagi semua pihak yang terlibat," terangnya.
Selain itu pihaknya juga menyayangkan bahwa pertimbangan yang diajukan oleh pemohon yang menunjukkan adanya kejanggalan dalam proses hukum ini. Sama sekali tidak diterima hakim.
"Kami percaya bahwa setiap proses hukum harus dilakukan dengan transparansi dan berkeadilan. Kami akan terus berjuang untuk memastikan bahwa hak-hak klien kami dilindungi dan bahwa keadilan ditegakkan," jelasnya.
Zaid juga mengungkapkan pihaknya juga keberatan bahwa meskipun hakim mengakui bahwa tindakan Tom Lembong sebagai kebijakan.
Tapi masih belum ada keberanian untuk menggunakan UU No 30 tentang Administrasi Negara untuk menetapkan bahwa penyidik telah melampaui kewenangan hukum administrasi negara, yang merupakan kewenangan APIP dan/atau Pengadilan Tata Usaha Negara.
"Putusan ini memberikan ketidakpastian hukum dan perlindungan kepada pejabat penyelenggara negara, termasuk menteri, dalam mengambil keputusan dan mengeluarkan kebijakan untuk mengatasi permasalahan yang terjadi di masyarakat," kata Zaid.
"Keberatan kami mencerminkan komitmen kami terhadap keadilan. Kami akan terus berjuang untuk membela hak-hak klien kami dan memastikan bahwa proses hukum berjalan dengan adil dan transparan," ujarnya.
Politikus PKS: Semoga Bukan Putusan Pesanan
Anggota Komisi III DPR RI dari fraksi PKS, Nasir Djamil mengkritik hakim tunggal PN Jakarta Selatan yang menolak praperadilan Tom Lembong atas penetapan tersangka kasus impor gula.
Keputusan itu diketok oleh Ketua Majelis Hakim PN Jakarta Selatan, Tumpanuli Marbun. Dengan begitu, penetapan tersangka terhadap Tom Lembong dianggap telah sah.
Nasir berharap putusan hakim tunggal itu bukan pesanan dari pihak yang ingin mengkriminalisasi Tom Lembong.
"Semoga saja putusan hakim tunggal itu bukan “putusan pesanan” dari pihak-pihak yang ingin mengkriminalisasikan TL," kata Nasir saat dikonfirmasi, Selasa (26/11/2024).
Namun, Nasir menghormati putusan yang diambil oleh majelis hakim tersebut. Meskipun, sulit baginya untuk menjawab putusan tersebut sudah ideal atau tidak.
"Sebab hakim secara teori memiliki independensi dan mandiri dalam memberikan keputusan.
Ideal atau tidak, adil atau tidak, memang itu sangat subjektif," pungkasnya.(Tribunnews/Rahmat Wajar Nugraha/Igman Ibrahim/Malau)